Senin, 26 November 2012

Alam Sati Nagari Surantih (sejarah asal usul, adat istidat dan monografi nagari surantih)


“Alam Sati Nagari Surantih” itulah judul buku ini. Bagi pembaca, khususnya bagi masyarakat Nagari Surantih, tentunya bertanya-tanya kenapa judul buku ini harus diberi dengan judul tersebut. Kenapa judulnya tidak “Sejarah Asal Usul dan Adat Istiadat Masyarakat Nagari Surantih” saja. Bagi penulis, judul ini dipilih berdasarkan alasan yang kuat. Judul ini muncul dari suatu proses penelitian dalam melihat kepribadian masyarakat Nagari Surantih yang dikaji melalui analisis dari cerita rakyat (kaba) yang dimiliki dan diceritakan dalam kehidupan masyarakat Surantih, yaitu Kaba Bujang Jibun dan Gadih Basanai.
Berdasarkan hasil analisis cerita kedua kaba tersebut dengan mengunakan analisis Strukturalisme Levi-Strauss dalam mengungkap makna yang tersembunyi di balik cerita mitos. Lahirnya judul tersebut yang didasari dari makna keterkaitan tokoh dalam kedua cerita dengan kekuatan gaib/magis dalam menghadapi persoalan yang mereka hadapi. Makna ini kemudian ditafsirkan lagi dengan fenomena kosmologi lingkungan yang ada di Nagari Surantih.
Dalam kehidupan masyarakat Surantih menyakini beberapa daerah yang dipercaya memiliki kekuatan tersendiri. Tempat – tempat tersebut dikenal masyarakat sebagai tampat. Di Nagari Surantih tampat yang sangat dikenal masyarakat antara lain, Tampat Langgai, Tampat Gunung Rajo, Tampat Gunung Giriak, Tampat Singguliang, Gunung Malelo dan masih banyak lagi. Jika dilihat berdasarkan arah mata angin, maka tampat – tampat tersebut tanpa disadari masyarakat berada di keempat arah mata angin.
Demikian juga dengan ajok sepadan (batas) nagari secara adat mengibaratkan batas dan letaknya dengan pepatah adat. Di arah barat memiliki batas dengan laut, di daerah ini berada Tampat Gunung Rajo, dalam adat batas di wilayah ini dikenal dengan riak nan badabua. Di arah timur batas nagari yang berbatas dengan wilayah Muaro Labuah, di arah ini berada Tampat Langgai, dalam adat batas di wilayah ini disebut berbatas dengan Bukit Bujang Juaro. Di arah utara batas nagari dalam adat dikenal dengan batas Bakau nan babejai, di wilayah ini terdapat tampat Gunung Malelo dan Batu Singguliang. Sementara di arah selatan batas nagari dalam adat disebut dengan Pinang nan baririk, di wilayah ini terdapat tampat Gunung Giriak. Jika dipetakan daerah-daerah tersebut akan membentuk sebuah struktur bangun yang akan membentengi dan mengelilingi wilayah Nagari Surantih, seperti pada gambar berikut ini :
                                                                  

Jika dilihat berdasarkan ekologis Nagari Surantih, Langgai dan Gunung Rajo yang berada di arah timur dan barat melambangkan unsur air. Hal ini dikarenakan Langgai sebagai daerah yang paling timur merupakan Hulu dari Sungai Batang Surantih yang mengalir membelah wilayah Surantih hingga ke muara dan menjadi sumber mata air dalam kehidupan masyarakat. Sedangkan Gunung Rajo menjadi simbol batas wilayah Surantih dengan laut. Sementara itu Gunung Giriek dan Malelo yang berada di arah selatan dan utara lebih melambangkan unsur batu dan tanah. Gambaran yang kita lihat  memberikan gambaran bahwa sesungguhnya kekuatan gaib yang ada pada tampat-tampat yang mengelilingi wilayah ini memberi pengaruh terhadap kehidupan yang ada dalam wilayah Surantih.
Berkaitan dengan pengaruh yang diberikan oleh tampat-tampat tersebut dalam kehidupan masyarakat Surantih telah diuraikan dan dapat dibaca pada Bab VII keadaan lingkungan sosial budaya Nagari Surantih. Berdasarkan alasan-alasan inilah lahirlah judul bukul ini. Judul “Alam Sati Nagari Surantih” ini merupakan gambaran dari lingkungan dan kehidupan yang ada di Nagari Surantih. Masih banyak fenomena-fenomena dan realita yang mengambarkan satinya alam Surantih dapat diangkat dalam tulisan ini. Untuk mengungkap dan dapat memberikan gambaran tersebut, masih diperlukan penelitian dan penelusuran yang lebih mendalam lagi.
Dilihat dari kacamata ilmu yang penulis tekuni, masih banyak fenomena dan realita, baik alam maupun sosial budaya yang dapat dikaji dijadikan sebagai bahan penelitian. Namun sayang, sejauh ini penulis belum dapat melihat ketertarikan dan keinginan ke arah sana, baik dari penduduk asli maupun dari luar.
Melalui tulisan ini penulis berharap dokumentasi realitas dan fenomena kehidupan masyarakat Surantih yang terekam dalam tulisan ini, dapat bermanfaat bagi generasi yang hidup di masa depan. Meskipun yang terangkum dalam tulisan ini telah membahas beberapa aspek dari kehidupan masyarakat Surantih. Namun masih terdapat kekurangan-kekurangan yang dapat diperbaiki dan disempurnakan. Tulisan ini dapat dijadikan pemerintah sebagai data base dalam melahirkan kebijakan-kebijakan pembangunan yang dapat membawa angin perubahan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nagari.






Selasa, 20 November 2012

Mengenal Percandian Muarajambi



Mengenal Percandian Muarajambi merupakan sebuah booklet sederhana yang menampilkan informasi singkat tentang percandian muarajambi. untuk lebih lengkapnya, booklet ini dapat dibaca atau didownload melalui link dibawah ini.

Rabu, 19 September 2012

Kaba (Cerita) Bujang Jibun.

Pada zaman dahulu, pada masa awal perkembangan terbentuknya kehidupan bernagari di daerah Surantih. Hiduplah sebuah keluarga di tengah-tengah perkembangan kehidupan masyarakat yang baru bermula. Keluarga itu adalah keluarga Tuanku Garak Alam. Tuanku memiliki seorang istri yang bernama Mayang Taurai. Dalam perjalanan kehidupan keluarga mereka dikarunia Tuhan tiga orang anak. Anak mereka yang paling sulung bernama Bujang Juaro, Bujang Juaro memiliki seorang adik laki-laki bernama Bujang Jibun dan adik perempuan yang paling kecil bernama Puti Bungsu (1).
            Bujang Juaro anak paling tua di keluarga Tuanku Garak Alam adalah seorang anak muda yang dalam kehidupan sehari-harinya gemar minum tuak, bermain dadu, dan menyabung Ayam. Bujang Juaro sendiri memiliki sebuah gelanggang permainan sabung Ayam yang merupakan tempat dia mengadu Ayamnya setiap hari. Gelanggang sabung Ayam milik Bujang Juaro ini berada di daerah Bukik Laban yang terletak antara daerah Kayu Aro dengan Koto Tinggi, Koto Katenggian (2). 
Daerah Koto Tinggi terdiri dari tiga perkampungan, yaitu; Koto Katenggian, Sungai Kumayang, dan Koto Rana[h]. Koto Tinggi tampek paninjauan, daerah ini merupakan sebuah daerah yang berada di dataran tinggi yang landai sehingga dari tempat ini dapat melihat Sungai Kumayang dan Koto Rana[h].  Sungai Kumayang dianggap sebagai biliak dalam, anggapan ini muncul karena daerah Sungai Kumayang berada di sebuah lembah yang tersembunyi dengan dikelilingi perbukitan sehingga menyerupai sebuah biliak (ruangan) yang tersembunyi. Sedangkan Koto Rana[h] dianggap sebagai janjang ka naiak, hal ini dikarenakan Koto Rana[h] adalah daerah yang harus dilewati ketika harus mendaki menuju daerah Koto Katenggian (3).
Beralih kepada adik Bujang Juaro, anak kedua dari Tuanku Garak Alam yang bernama Bujang Jibun. Berbicara tentang diri Bujang Jibun, tak jauh berbeda dengan kakak kandungnya Bujang Juaro. Dalam kehidupan keseharian Bujang Jibun, perkerjaannya hanyalah minum tuak, suka main dadu dan menyabung Ayam. Persis sama dengan kelakuan kakaknya, Bujang Jibun juga memiliki gelanggang sendiri tempat dia bermain sabung Ayam. Setiap harinya Bujang Jibun berjalan menuju gelanggang sabung Ayamnya, dari rumahnya yang berada di Koto Tinggi, berjalanlah ia turun menuju ke Kayu Aro, kemudian berjalan menyusuri jalan yang berada disepanjang kaki bukit menuju daerah Sualang (sekarang Sialang). Didekat daerah Sualang ini terdapat sebuah bukit yang bernama Bukit Batu Balai. Di bukit inilah Bujang Jibun mendirikan gelanggang sabung Ayamnya (4).
Pada suatu ketika tersiarlah kabar berita di Kampung Kayu Aro bahwa ada seorang pemuda yang bernama Sutan Pamenan datang dari daerah Pariaman. Maksud dan tujuan kedatangannya adalah untuk pergi ke gelanggang sabung Ayam milik Bujang Juaro guna bermain sabung Ayam, mengadu Ayam jagoannya yang bernama Ayam Sago Nani. Setelah bertanya-tanya pada penduduk yang ditemuinya, akhirnya Sutan Pamenan sampai di gelanggang sabung Ayam Bujang Juaro. Saat dia sampai, ia melihat suasana gelanggang yang sedang disesaki oleh orang-orang yang menyaksikan sabung Ayam. Sebagian dari orang-orang tersebut, meski tidak memiliki Ayam aduan untuk diadu, ada yang ikut menumpin taruhannya pada Ayam yang bertarung. Ditengah hiruk pikuk suara orang ramai yang berteriak menyemangati Ayam jagoannya. Bujang Juaro melihat ke arah seorang pemuda yang belum pernah ia lihat sebelumnya datang bermain di gelanggangnya (5).
Bujang Juaro kemudian menghampiri pemuda tersebut dan berkata, “siapa tuan yang baru datang ini, angin mana dan hujan mana yang membawa tuan hingga sampai di gelanggang ini. Dilihat dari tampang dan cara berpakaian tuan, tuan bukanlah orang yang berasal  dari daerah sini”. Lalu Sutan Pamenan menimpali perkataan Bujang Juaro, “saya bernama Sutan Pamenan, datang dari Pariaman, maksud kedatangan saya ke gelanggang ini tak lain adalah untuk mengadu Ayam saya ini dengan Ayam jagoan tuan yang sering menang di gelanggang ini.  Kalaulah demikian, Sutan tidaklah salah alamat datang kemari”, kata Bujang juaro. “Sutan datang ke tempat yang benar, jika Sutan berkenan, dari pada kita terus berbasa-basi tak tentu arah. Karena hari semakin lama semakin beranjak petang, lebih baik kita langsung turun ke gelanggang membulang taji Ayam kita masing-masing. Sutan Pamenan dengan wajah gembira menerima ajakan Bujang Juaro untuk turun bermain disasaran sabung Ayam. Setelah menetapkan dan menyepakati taruhan yang akan ditumpin dalam pertandingan tersebut. Mereka menyuruh juaro gelanggang yang menjadi pengadil dalam pertandingan sabung Ayam tersebut untuk memulai permainan. Orang-orang yang berada di gelanggang sabung Ayam Bujang Juaro larut bersorak riang menyemangati kibasan-kibasan taji Ayam aduan yang sedang bertarung. Dalam pertandingan itu, akhirnya Ayam milik Bujang Juaro kalah dari Ayam Sago Nani milik Sutan Pamenan, taruhan yang telah ditumpin diambil dan dibawa oleh Sutan Pamenan (6).
Selesai menyabung Ayam dengan Bujang Juaro, Sutan Pamenan berjalan menuju daerah Sungai Kumayang dan tinggal beberapa hari di kampung tersebut. Pada saat Sutan Pamenan tinggal di daerah itu, dia bertemu dan berkenalan dengan Puti Reno Kapeh. Puti Reno Kapeh merupakan anak dari Rajo Nan Sati, ibunya bernama Mayang Sani. Pada masa mereka berkenalan tersebut Reno Kapeh sudah menjadi tunangan dari Bujang Jibun. Pada suatu hari Sutan Pamenan datang menemui Reno Kapeh ke rumahnya. Dalam pertemuan itu Puti Reno Kapeh berpesan pada Sutan Pamenan, “kalau seandainya tuan sampai ke gelanggang sabung Ayam Bujang Jibun yang berada di Bukit Batu Balai, janganlah tuan pergi juga ke sana untuk menyabung Ayam”. Dicampuri rasa penasaran Sutan Pamenan memotong perkataan Puti Reno Kapeh dan berkata, “kenapa Puti melarang saya datang ke gelanggang Bujang Jibun untuk menyabung Ayam, apakah gerangan yang membuat Puti khawatir dan melarang saya kesana untuk bermain” (7).
 Lalu dengan perasaan cemas Puti Reno Kapeh mengutarakan alasan ke khawatirannya dan melarang Sutan Pamenan ke gelanggang Bujang Jibun, “bagi Bujang Jibun dalam menyabung Ayam, jika kalah dalam penyabungan dia tidak akan membayar taruhan yang telah ditumpin tapi jika dia berada dipihak yang menang, dia akan mengambil seluruh taruhan yang ada. Dari pada tuan pergi menyabung Ayam dengan Bujang Jibun, alangkah baiknya tuan mengurungkan niat tuan tersebut. Lebih baik tuan kembali pulang ke kampung asal tuan”. Mendengar perkataan Reno Kapeh, “Dik kandung Puti Reno Kapeh, adapun niat dalam hati, kalaulah tidak bertemu dengan yang dicari pantang untuk kembali pulang, jika kembali pulang ibaratnya “dadak mananti ditampuruang” jawab Sutan Pamenan. Dengan nada perkataan berat hati Puti Reno Kapeh berkata,

“Saya patah tak akan terpatah
 Ibarat mematah batang Surantih
 Dipatah sedang panas hari
 Saya cegah tidak akan tercegah
 Ibarat mencegah air dari hilir
 Saya lepas tuan dengan iba hati”.

 Lalu Sutan Pamenan Menjawab,

 “Pulau talam pulau terika,
   ketiga bungkuak taji,
   sambut salam puti ku tinggal,
   saya berangkat sekarang ini”.

Dengan linangan  air mata Puti Reno Kapeh berkata,

 “Ke kanan jalan ke Sungai Pinang,
   ke kiri jalan ke Malaka.
   Dengan tangan kanan saya sambut kasih sayang
   dengan tangan kiri menghapus air mata.

Setelah mereka berjabat tangan, turunlah Sutan Pamenan dari rumah gadang Puti Reno Kapeh. Ketika sudah berada di halaman Sutan Pamenan melihat ke arah Reno Kapeh yang berdiri di pintu rumah gadang melepas kepergian Sutan Pamenan (8).
 Beberapa saat kemudian Sutan Pamenan berpaling dan melangkahkan kakinya dari halaman rumah berjalan menuju ke arah hilir. Sekian lama jauh berjalan sampailah Sutan Pamenan di Koto Rana[h] dan singgah berhenti untuk beristirahat. Di bawah pohon kayu yang rindang, di Puncak Bukit Aua, sembari melapaskan litaknya, pikiran Sutan Pamenan menerawang jauh. Dilepaskannya pandangan ke arah lautan, terlihatlah daerah Bukit Batu Balai tempat gelanggang Bujang Jibun. Seketika teringatlah kembali olehnya perkataan Reno Kapeh. Tiba-tiba dia terkejut, dadanya berdetak kencang, seluruh sendi tubuhnya dirasakan bergemetar. Dalam kondisi yang demikian, hati kecilnya berkata, “niat dalam hati terbayang-bayang dimata teringat-ingat dihati, biar ada aral melintang namun maksud dan tujuan haruslah tetap disampaikan. Biarlah hilang yang akan berkata, meski hilang nyawa dari badan namun kehendak hati harus dilaksanakan” (9).
Setelah litak yang mengerubuti tubuhnya dirasakan telah hilang, sutan pamenan mengayunkan langkah kakinya menuruni Bukit Aua hingga sampailah dia di Kayu Gadang. Lalu menyeberang sungai di lambung bukit, berjalan di pematang panjang ke arah hilirnya, akhirnya sampailah Sutan Pamenan di Sualang. Dari kejauhan telinganya  mendengar sayub-sayub orang bersorak-sorai dari arah Bukit Batu Balai. Semakin lama suara itu semakin jelas terdengar, diarahkanlah langkah kakinya menuju  ke gelanggang sabung Ayam Bujang Jibun yang sedang ramai saat itu. Berjalanlah dia berlambat-lambat mendaki Bukit Batu Balai sambil mengapit Ayamnya untuk memenuhi niat hatinya menyabung Ayam dengan Bujang Jibun. Setelah menempuh jalan setapak Bukit Batu Balai, sampailah Sutan Pamenan di tempat gelanggang sabung Ayam Bujang jibun. Di tengah ramainya gelanggang terlihatlah dirinya oleh Bujang Jibun. Seketika dirinya merasa, darahnya berdesir, detak jantungnya berdegub kencang dan gemetar segala sendi tubuhnya. Teringat kembali olehnya perkataan Reno Kapeh, di dalam hati Sutan Pamenan berkata, “benar adanya kata Reno Kapeh, tidak salah Puti berkata demikian, sesuai perkataan dengan kenyataan”. Firasat hati Sutan Pamenan saat itu merasa akan berpisah nyawa dengan badan. Setelah ini ia merasa tidak akan pernah bertemu lagi dengan Puti Reno Kapeh, muncullah penyesalan di dalam dirinya karena amanat Reno Kapeh telah ia mungkiri (10).

Gambar 
Lokasi Gelanggang Sabung Ayam Bujang Jibun di Puncak Bukit Batu Balai

Dikala jiwanya sedang bergolak, berkatalah Bujang Jibun sambil memanggil ke arah Sutan Pamenan. “siapa tuan yang baru datang, dipanggil gelar tidak tahu dipanggil nama tidak jelas. Siapakah nama tuan sesungguhnya”, Tanya Bujang jibun. “saya bernama Sutan Pamenan datang dari Pariaman, sudahkah senang hati tuan” jawab Sutan Pamenan. Lalu Bujang Jibun berkata, “dikala makan rendang lekat di daun dijilati, dikala tuan datang apa maksud dalam hati”.  Sutan Pamenan kemudian menjawab pertanyaan Bujang Jibun, “kalaulah itu yang tuan tanyakan, karena tuan yang punya gelanggang, ada rasa niat dalam hati hendak menyabung saya di gelanggang ini. Tanda saya akan menyabung dengan tuan, inilah taruhan yang akan saya tumpin untuk menyabung Ayam dengan tuan”. Lalu Sutan Pamenan meletakkan taruhannya berupa emas tiga batang dihadapan Bujang Jibun. Bujang Jibun melihat Sutan Pamenan meletakkan taruhan terkesima dengan apa yang ingin dipertaruhkannya (11).
Saat itu termenunglah Bujang Jibun dan berfikir sambil melihat ke arah taruhan orang yang datang, dengan apa taruhan itu akan ditumpin kata Bujang Jibun dalam hati kecilnya. Tak lama kemudian berkatalah Bujang Jibun, “kalau begitu bersabarlah tuan menunggu, saya permisi mengambil taruh yang akan ditumpin”, lalu berjalanlah Bujang Jibun. Tidak berapa lama kemudian Bujang Jibun datang kembali ke gelanggang dengan membawa taruhannya. Dihadapan Sutan Pamenan, Bujang Jibun berkata, “kalaulah tak sampai taruh saya untuk menumpin taruhan sutan, dengan janji kita buat kesepakatan. Kalau seandainya dalam pertandingan nanti yang menang adalah Ayam saya, taruhan yang ada saya yang akan mengambil. Kalau sebaliknya ternyata saya kalah, kalau tak cukup taruhan saya ini, tambahannya ialah tunangan saya yang bernama  Puti Reno Kapeh, apakah senang hati sutan mendengarnya”. Mendengar perkataan Bujang Jibun lalu Sutan Pamenan berucap, “kalau demikian kata tuan, sudah senang rasanya dalam hati sejuk rasanya dalam pikiran. Apakah nanti tidak ada penyesalan dalam diri tuan dikemudiannya ?”.  Dengan melihatkan mimik wajah percaya diri Bujang Jibun menyakinkan Sutan Pamenan dan mengajaknya untuk memulai pertandingan. Dalam pertandingan itu, Sutan Pamenan telah mempersiapkan Ayamnya yang bernama Sago Nani. Sementara itu Bujang Jibun juga bersiap-siap untuk mengadu Ayamnya yang bernama Kinantan (12).
Setelah juaro lapangan mempersiapkan segala sesuatunya. Maka kedua orang itu melepas Ayam aduannya masing-masing. Dalam pertarungan itu kedua Ayam saling mengincar lawannya masing-masing, adakalanya kedua Ayam itu sesekali melambung ke atas, dua kali melambung turun. Tapi malang bagi Ayam Kinantan milik Bujang Jibun berpisah nyawa dari badannya, mengelapar-lepar di gelanggang, matilah Ayam Kinantan suci. Seketika mengalirlah keringat dingin sebesar biji jagung di kening Bujang Jibun. Sementara itu orang ramai hiruk pikuk, bersorak sorai melihat kemenangan Ayam Sago Nani milik Sutan Pamenan, apalagi mereka yang ikut menumpin taruhan pada Ayam Sago Nani yang menang dalam pertandingan itu. Pada diri Bujang Jibun, malu tercoreng pada kening, karena kalah oleh Ayam Sutan Pamenan dan taruhan diambil Sutan Pamenan sambil berkata pada Bujang Jibun. “Hei….  tuan, si Bujang Jibun, manakah dia Puti Reno Kapeh? Bawalah dia sekarang juga sebagai ganti taruhan badan tuan. Lalu termenunglah Bujang Jibun, kemudian berkata, “tentang Puti Reno Kapeh, dia sekarang berada di Sungai Kumayang Biliak Dalam. Jemputlah dia oleh sutan ke sana, ke kampung halamannya. Sudahkah senang hati sutan”, Bujang Jibun berkata (13).

Gambar 
Salah Satu Peninggalan Bujang Jibun Berupa Sumur Kecil
Masyarakat Menyakini Air Sumur Ini Digunakan Untuk Minum dan Memandikan Ayam

Setelah mendengar kata Bujang Jibun, Sutan Pamenan mohon diri pergi dari gelanggang tersebut lalu berjalan menuruni Bukit Batu Balai melalui jalan setapak yang sempit menuju Sualang. Dalam perjalanan menuju sualang tersebut, tanpa diduga dan disangka-sangka sebelumnya oleh Sutan Pamenan perjalanannya dicegat oleh Bujang Jibun. Melihat Bujang Jibun yang berdiri bercakap pinggang di tengah jalan, hati kecil Sutan Pamenan berkata pada dirinya bahwa dirinya akan binasa. Dalam hatinya terlintas kata-kata, “Kuda melompati batu balah di belakang lurah berpandakian, tidak ku dua kehendak Allah kalaulah memang suratan dengan janjian”. Ketika Sutan Pamenan sampai dihadapan Bujang Jibun, berkatalah Bujang Jibun pada Sutan Pamenan. “kalau tadi Ayam kita yang menyabung, saya telah kalah, sekarang kita pula yang menyabung nyawa”. Kemudian terjadilah perkelahian antara Bujang Jibun dengan Sutan Pamenan. Pada diri Bujang Jibun, sebagai seorang parewa memiliki berbagai kesaktian, tahan gurindam garagaji, tidak termakan malelo, tidak termakan bisa kawi dia orang kuat kaba semenjak dari niniaknya. Sementara itu pada diri Sutan Pamenan, melihat Ayamnya kuyua, saat itu berdesirlah darah didadanya, lupalah Sutan Pamenan akan akal pikirannya, hilang ilmu yang ada pada dirinya tidak sadar akan dirinya (14).
Maka bertarunglah Bujang Jibun dengan Sutan Pamenan, pada awalnya perkelahian itu berjalan seimbang. Lama kelamaan terdesaklah Bujang Jibun oleh Sutan Pamenan hingga pada suatu ketika Bujang Jibun terjatuh akbat pukulan Sutan Pamenan. Pada saat itu manyarulah Bujang Jibun, “berkat pada tampat-tampat yang keramat, berkat Langgai, berkat Malelo dan berkat tempat keramat lainnya. Meminta Bujang Jibun kali ini, kalau sempat kalah Bujang Jibun sekarang bak balam rabah , bak orang datang Nagari Surantih”. Seketika itu, Bujang Jibun seakan mendapat kekuatan baru dan berdiri kembali melanjutkan pertarungannya dengan Sutan Pamenan. Dalam perkelahian itu, pedang Bujang Jibun telah berhasil melukai tubuh Sutan Pamenan. Pada satu kesempatan Bujang Jibun berhasil menyabetkan pedangnya ke arah leher Sutan Pamenan hingga bercerailah kepala dengan badan Sutan Pamenan. Ajalullah sudah bilangan sampai, meninggallah Sutan Pamenan di jalan yang menuju Sualang. Setelah melihat lawannya telah binasa, Bujang Jibun mengambil kepala Sutan Pamenan meletakkannya di tepi jalan, sementara badannya dilemparkan ke dalam lurah. Ayam dan harta yang dimiliki Sutan Pamenan diambil dan dibawa Bujang Jibun semuanya. Bujang Jibun kemudian berjalan menuju Bukit Batu Balai. Sampai di gelanggang Bukit Batu Balai diperlihatkan pada orang ramai apa yang telah dibawanya sebagai bukti bahwa Sutan Pamenan  telah mati ditangannya. Kemudian Bujang Jibun melihatkan pada orang ramai yang telah tahu perihal itu, dilihatnya orang tua beriba hati, orang muda menangis berurai air mata terbayang akan tampan dan gagahnya Sutan Pamenan yang telah jadi permainan mata orang kampung, orang memandang sangat sayang padanya (15).
 Lalu berangkatlah Bujang Jibun menuju kampung Kayu Aro, dituruni jalan setapak yang sempit, teruslah dia menuju Sualang. Setelah itu ditempuhnya pematang panjang menuju Kayu Aro. Sekian lama berjalan akhirnya sampailah Bujang Jibun di kampung Koto Tinggi terus menuju rumah mande kandungnya.  Lalu Bujang Jibun dipanggil oleh ayah kandungnya, dihadapan ayahnya Bujang Jibun berkata, “Ayah. Ini adalah bukti bahwa saya telah menang menyabung Ayam dengan Sutan Pamenan anak orang Pariaman. Bukan karena menang emas dengan perak, menang karena telah menyampaikan ajal Sutan Pamenan. Badannya telah dibuang ke dalam lurah sedangkan kepalanya diletakkan di tepi jalan, inilah taruhan dari Sutan Pamenan. Bujang Jibun melihatkan pada ayahnya Ayam Sutan Pamenan berserta emas dan perak yang jadi taruhan. Mendengarkan kata anaknya, terkejutlah ayah Bujang Jibun saat itu, ayahnya sangat geram dan marah pada Bujang Jibun dengan apa yang telah dilakukannya (16).
Melihat ayah yang sedang marah pada Bujang Jibun, Puti Bungsu adik kandung Bujang Jibun berkata, “kakanda Bujang Jibun, karena kakanda telah menang menyabung. Alangkah baiknya dibayarkan pada utang yang ada pada orang kampung. Agar kakanda selamat dunia dan akhirat”. Demikianlah kata Puti Bungsu pada kakaknya Bujang Jibun. Mendengar perkataan Puti Bungsu, marahlah Bujang Jibun dan saat itu berkata, “ kalaulah utang yang akan dibayar, percuma saja aku jadi parewa”. Merentaklah Bujang Jibun melangkahkan kakinya saat itu karena begitu marahnya pada puti Bungsu. Berangkatlah Bujang Jibun dari rumah gadang menuju Gubalo Kabau. Dalam hatinya Bujang Jibun berniat akan menguburkan emas tujuh urai serta uang yang ada. Sesampai di Padang Gubalo Kabau Bujang Jibun melaksanakan niatnya tersebut, menguburkan barang-barang yang dimilikinya. Selesai menguburkan barang-barang itu, Bujang Jibun kembali menuju rumah gadang mandenya (17).
Setelah masuk ke kamar tempat penyimpanan pakaiannya, Bujang Jibun menganti pakaian yang digunakannya dengan pakaian yang lusuh dan sangat jelek, dengan berpakaian yang demikian Bujang Jibun pergi menuju Sungai Kumayang rumah Reno Kapeh. Ketika sampai di halaman rumah Reno Kapeh, memangillah Bujang Jibun saat itu. “O adik kandung si Reno Kapeh, apakah gerangan adik ada dirumah? Kemudian terdengarlah suara jawaban dari atas rumah, suara itu adalah suara dari Reno Kapeh yang menyahuti pangilan Bujang Jibun.

“Cimpedak tumbuh di halaman
  Dijuluk dengan empu kaki
  Usahlah tuan lama berdiri di halaman
  Itu cibuak cucilah kaki
  Naiklah tuan ke atas rumah”

Itulah kata Reno Kapeh yang mempersilahkan Bujang Jibun naik ke atas rumah. Maka naiklah Bujang Jibun ke rumah menuju ruang tamu, sesaat setelah Bujang Jibun duduk, air minum telah disuguhkan Reno Kapeh sambil berkata, “apa maksud dalam hati, apa yang teringat dalam dada hingga tuan seperti ini datang dengan berbaju lusuh segala buruk, tuan menguji Reno Kapeh? Belumlah ada yang berubah di dalam hati, entah kalau malah tuan sendiri. Lalu Reno Kapeh berkata lagi pada Bujang Jibun.

“Kiabak jauh ditengah
Dekatku pandang dari tepi
Jejak tampak tubuh teringat
Hilang tuan ke mana akan dicari”

Lalu menjawablah Bujang Jibun.

 “Manalah dik kandung Reno kapeh
Saya telah menang menyabung
Menyabung dengan Sutan Pamenan
Ini sebagai tanda Ayamnya saya bawa
Sutan Pamenan sudah saya bunuh
Sudahkah senang hati adinda”(18).

Mendengar kata yang demikian, terkejutlah Reno Kapeh, berdesir darah di dada. Amanat yang tidak dipegang oleh Sutan Pamenan, penyesalan muncul di dalam diri Reno Kapeh. Termenunglah dia saat itu memikirkan nasib Sutan Pamenan. Pada saat itu Bujang Jibun mohon diri kembali pulang ke rumahnya. Ketika sampai di rumah mande kandungnya, Bujang Jibun minta izin pada mandenya pergi kembali ke Bukit Batu Balai. Sementara itu sepeningggal Bujang Jibun, Puti Reno Kapeh meratap sejadi-jadinya pada saat itu. “Oh tuan kandung Sutan Pamenan tidak kusangka rigo-rigo pipit sinandung makan padi, tidak kusangka seperti ini, amanatku tuan pungkiri.

Kiabak di Hulu Lumpo
Penudung orang ke seberang
Cerai hidup tidaklah mengapa
Celakanya mati salah seorang.

Si bubur tidak bertulang
Entahlah pandan yang meluruti
Tuan terbujur di rimba gadang
Dengan apa badan menuruti”
Begitulah bunyi ratapan Reno Kapeh (19).

Setelah pertemuan dengan Reno Kapeh, perkerjaan Bujang Jibun hanyalah gila bermenung dan bermenung dikarenakan orang-orang yang menagih piutang padanya, utang yang ada dengan apa akan dibayar. Setiap kali orang yang datang menagih piutang, yang bisa dilakukan Bujang Jibun hanyalah memainkan saluang Sago Geni, dihembus salung di depan orang yang menagih utang sebelum utang akan dibayar Bujang Jibun. Mendengarkan bunyi saluang Bujang Jibun, orang yang akan menagih piutang padanya merasa iba dan sedih hati yang tidak tertahankan. Hingga utang Bujang Jibun yang ada tidak akan tertagih lagi, karena mendengar saluang Bujang Jibun serasa mau putus jantung dengan hati (20).
Seiring dengan berjalannya waktu, hari berganti hari, habis hari berganti minggu, habis minggu berbilang bulan. Pada suatu hari datanglah seseorang yang meminta piutang, bernama Gadih Raema datang dari Padang. Bujang Jibun ketika melihat Raema datang dari kejauhan, telah siap dengan saluangnya. Seperti halnya dengan peminta utang pada Bujang Jibun sebelumnya, mereka disuruh menungggu oleh Bujang Jibun beberapa saat dengan alasan sebelum utang akan dibayar lebih baik duduk minum terlebih dahulu dan mendengarkan bunyi saluangnya, demikianlah cara Bujang Jibun menghadapi orang-orang yang menagih utang padanya. Setelah salung selesai dimainkan, yang namanya utang tidak akan pernah teringat lagi. Begitulah nasib para penagih utang pada Bujang Jibun sebelumnya. Cara yang sama kembali digunakan Bujang Jibun pada Raema yang ingin menagih utang pada Bujang Jibun.  Pada saat itu Bujang Jibun telah memainkan saluangnya dan melatunkan dendang bagi yang mendengarkan larut dibuatnya. Tapi telah beragam bunyi salung namun Raema tidak dapat tunduk oleh alunan bunyi saluang Bujang Jibun (21).
Setelah merasa litak bermain salung, berkatalah Bujang Jibun pada Raema, wahai rang Kayo si Raema, namanya utang tetap akan saya bayar. Bersabarlah Raema menungggu barang sebentar, agar saya dapat membayar utang. Mendengarkan kata Bujang Jibun Raema sangat marah, marah yang tidak dapat ditahan-tahan lagi dan lalu berkata, “Kalaulah tidak terbawa apa yang dijemput, kalaulah tidak dapat apa yang diminta, saya pantang berbalik pulang, biarlah hanya nama yang berbalik pulang. Mendengar kata Raema yang demikian, Bujang Jibun menghentakkan kakinya, muncullah rasa geramnya, tersingunglah hati yang “balado” talajang ka rantiang miang naiak ampadu ka talinggonyo. Kemudian Bujang Jibun berteriak sekeras-kerasnya, setelah bunyi suara dari mulutnya menghilang. Dihantamkanlah kakinya di lereng Bukit Batu Balai. Kiamat datang bagi diri Bujang Jibun hingga miringlah Bukit Batu Balai kala itu (22).
Sementara Raema yang sedang menunggu tidak menyadari apa yang telah terjadi pada diri Bujang Jibun. Ditempat yang lain Bujang Jibun semakin kehilangan kendali dirinya, dia berlari menuruni jalan Bukit Batu Balai menuju daerah tepi air yaitu lubuk Timbulun. Ketika sampai di tepi air lubuk, Bujang Jibun bersumpah pada saat itu. “hei tempat-tempat keramat”, dengan suara yang lantang. “Berkat Allah dan Nabi, berkat tempat yang keramat beserta Niniak dengan Aulia. Kalau ada harta dari Bujang Jibun, kalau saya menerjuni lubuk ini, jadikanlah saya menjadi batu berikut segala harta yang saya miliki”. Setelah selesai mengucapkan sumpahnya, tanpa pikir panjang lagi Bujang Jibun menerjuni air lubuk tersebut hingga Bujang Jibun tertancap berdiri dalam lubuk dan menjadi batu kala itu (23).

Gambar 
Lubuk Timbulun Tempat Bujang Jibun Terjun dan Jadi Batu


Kembali pada Gadih Raema yang menunggu-menunggu kedatangan Bujang Jibun untuk membayar utangnya. Setelah begitu lama dirasakannya, Bujang Jibun yang ditunggu-tunggu belum juga datang menampakkan batang hidungnya. Karena telah habis kesabarannya, orang yang dinanti belum juga datang. Akhirnya Gadih Raema berjalan menuruni jalan setapak Bukit Batu Balai mengikuti jejak Bujang Jibun. Ketika Raema sampai di daerah tepi air lubuk, diperhatikannya baik-baik disekitar daerah itu. Kemudian dipalingkannya penglihatannya ke arah air lubuk yang mengalir menuruti riamnya. Tanpa diduga sebelumnya, di dalam air lubuk Raema melihat sosok badan Bujang Jibun yang pada saat itu telah berubah menjadi batu. Melihat peristiwa yang terjadi itu, datanglah penyesalan dalam diri Raema (24).

Jumat, 07 September 2012

Gampang Dicari Susah Didapat (easy but dificult)


Dokumenter ini dibuat pada tahun 2008 berdasarkan konsep video komunitas. Pembuatan Video komunitas ini diiniasiasi oleh beberapa lembaga antara lain KKI-WARSI, Kampung Halaman, Mitra Aksi dalam sebuah kegiatan Festival Video Kito-Kito yang mengangkat tema seputar aktivitas dan permasalahan yang dihadapi oleh beberapa komunitas di Jambi. video dokumenter "Gampang Dicari Susah Didapat (easy but dificult)" sendiri diangkat dari kehidupan komunitas batin sembilan yang hidup di wilayah Desa Bungku Kecamatan Bajubang Kabupaten Batanghari.Dalam kehidupan komunitas Batin Sembilan ini semakin termaginalkan oleh kehadiran Perusahaan Sawit dan Pendatang dari luar. Hutan yang selama ini menyediakan sumber daya kehidupan mereka selama ini sudah banyak beralih fungsi menjadi HPH dan perkebunan sawit. Kehadiran pendatang dari luar pun semakin meminggirkan mereka dan hidup dibawah garis kemiskinan. salah satu strategi yang mereka lakukan untuk bisa bertahan hidup adalah melakukan aktivitas "mengarang", merupakan sebuah aktivitas mengumpulkan bongkol kayu sisa penembangan HPH untuk dibakar sehingga menghasilkan arang kayu. Ditengah tekanan permasalahan hidup dan konflik lahan yang mendera komunitas ini, aktivitas "mengarang" ini telah menjadi sumber mata pencaharian bagi mereka, terutama yang tidak memiliki lahan lagi.
Video Dokumenter ini bagi saya sendiri merupakan pengalaman pertama membuat video dokumenter berdasarkan pendekatan dan konsep video komunitas. Terima Kasih pada KKI-WARSI, Kampung Halaman, Mitra Aksi yang telah memberikan kesempatan pada saya terlibat dalam kegiatan ini.


Kamis, 06 September 2012

Selamatkan Timnas Indonesia


Picture From Google
Ayo Galang Dukungan Selamatkan Timnas Indonesia……….


Apa yang terjadi dalam dunia persepakbolaan di tanah air merupakan sebuah tragedi yang diibaratkan sama dengan bencana alam. Perilaku, kepentingan, otak kotor yang ada dalam diri pembesut organisasi sepak bola (PSSI) di tanah air ini tidak bisa ditolerir lagi. Mereka-mereka seharusnya dipenjarakan saja karena telah merugikan berbagai pihak, terutama insan sepak bola dan supporter setia Timnas Indonesia, yaitu Rakyat Indonesia.
Dualisme organisasi dan kepengurusan yang terjadi sekarang merupakan gambaran bahwa betapa bodoh dan dungunya mereka. Seharusnya sadar diri dan keluar dari PSSI secara baik karena tidak mampu berkerja dengan baik untuk membangun dan memajukan persepak bolaan di tanah air. Kedua kubu yang bertikai sekarang tidak yang benar dan lebih baik satu dengan yang lainnya. Kesalahan utama kedua kubu adalah mereka tidak bisa mendahulukan kepentingan Negara diatas kepentingan golongan dan kelompoknya masing-masing. Mereka lupa akan sejarah berdirinya PSSI pertama kali bertujuan untuk alat perjuangan bangsa mendobrak kungkungan kolonial. Seharusnya semangat ini mereka warisi tetapi kenyataannya mereka tidak sama sekali menyadari dan memahami filosofi perjuangan ini.
Dengan kondisi Negara dan bangsa yang sedang dalam kondisi yang morat marit seperti sekarang ini. kita memerlukan alat yang dapat membangkitkan rasa nasionalisme dan mempersatukan kembali elemen-elemen bangsa yang sudah tercerai berai. Baik itu oleh pertikaian politik, kasus sara, teroris, dan cengkeraman kapitalisme yang semakin membenamkan rakyat dan bangsa dibawah garis kemiskinan. Satu-satunya alat yang dapat mendobrak kemerosotan ini adalah melalui olah raga yang dipertandingkan di tingkat international. Salah satu cabang olahraga yang menjadi urat nadi kehidupan dan dicintai rakyat Indonesia adalah sepak bola.
Salah satu event international terdekat yang akan berlangsung dan diikuti oleh Timnas Indonesia ke depan adalah Piala AFF. Harapan diatas hanya akan tinggal impian jika permasalahan antara kedua kubu pengurus yang berseberangan ini tidak menemukan titik temu dan disatukan lagi. Bisakah kita terbayangkan Timnas Indonesia datang ke turnamen AFF dengan dua timnas. Sementara setiap Negara perserta hanya boleh mengirimkan satu tim national saja. Kemungkinan terburuk bisa saja terjadi, Timnas Indonesia malah didiskualifikasi oleh panitia AFF dan tidak boleh mengikuti turnamen. Alangkah malunya bangsa ini, noda hitam kembali terukir dalam sejarah kelam persepakbolaan kita.
Impian dan harapan kita sekarang hanyalah, Timnas Indonesia terbaik dengan susunan pemain terbaik dan pantas bermain untuk Garudalah yang tampil di AFF nanti. tidak penting itu apakah berasal dari PSSI Abu Lahab atau PSSI Abu Jahal. Yang Terpenting adalah Timnas Indonesia tampil di AFF dengan kekuatan terbaik. Ayo Suporter Timnas Garuda, marilah kita bersatu. Marilah kita berseru…….. Ayo Dukung Timnas Garuda

Rabu, 05 September 2012

Sejarah Asal Mula Nama Kampung Dan Nagari Surantih

Asal mula penamaan nama sebuah daerah atau tempat dimana pun memiliki latarbelakang yang berbeda. Latar belakang peristiwa, ketokohan, keunikan dan kekuatan yang melekat pada hewan, tumbuhan serta misteri. Adakalanya kronologi cerita dan pemaknaan nama tempat dibangun dengan kesan cerita yang tidak dapat diterima oleh logika dan akal sehat. Meski secara ilmiah sulit untuk diinterpretasikan secara sistematis. Penelusuran, pemaknaan sebuah nama tempat dapat dihimpun berdasarkan persepsi dan pengetahuan masyarakat setempat. berikut ini hanyalah sebuah catatan lapangan tentang asal mula nama tempat yang dikumpulkan saat berada di Nagari Surantih Kecamatan Sutera Kabupaten Pesisir Selatan.

Dalam pengetahuan masyarakat Surantih terdapat beberapa versi cerita asal mula nama Nagari Surantih. Munculnya pengetahuan yang berbeda ini bukanlah masalah yang harus diperdebatkan untuk mencari kebenaran dari hal yang diyakini benar. Pengetahuan dan pemahaman yang berbeda merupakan gambaran dari masyarakat Nagari Surantih dalam mengenal dan memahami lingkungannya sendiri. Apalagi logat dan dialek bahasa setiap saat berubah-rubah seiring dengan bergantinya zaman. Ada beberapa penyebab, salah satunya adalah pengaruh sistem dari konsep nagari yang menerapkan adat salingka nagari, apalagi pengaruh dari bahasa-bahasa penjajah. Itu sebabnya timbulnya beberapa versi dari kalimat awal kata Surantih seperti : Serantih, Surantie, ada juga Surantia. Semuanya tentunya punya alasan tertentu dari penjabaran tertentu pula. Begitu juga asal nama nagari dan nama kampung-kampung di Nagari Surantih. Biasanya diambil dari kejadian dan peristiwa alam yang terjadi pada masa dahulu.
Sketsa Wilayah Nagari Surantih dan Ajok Sepadan Berupa Batas Alam

1. Asal Mula Nama Nagari Surantih Menurut Beberapa Versi
a.   Versi Perilaku Raja
Mengenai asal nama Nagari Surantih sendiri ada beberapa versi. Pertama, asal nama Nagari Surantih ini berawal dari peristiwa yang berlangsung di daerah Kampung Pasie Nan Panjang sekarang, disaat air laut mulai surut dan bumi (daratan) bertambah luas (Lawik Basentak Turun, Bumi Basentak Naiek). Daratan yang baru muncul dan belum bertuan tersebut oleh Raja dibagi-bagikan (Diagiah-agiahkan) pada rakyatnya. Peristiwa ini diibaratkan Raja sedang ma[r]antiah makanan yang kemudian diagiah-agiah (Diberikan) pada anak kamanakan yang ada.  Kemudian dari kata-kata ma[r]antiah dan diagiah-agiah ini dijadikan nama nagari ini yang lama kelamaan dialih menjadi Surantih agar baik bunyinya.

b. Versi Kayu Meranti Besar
Secara umum masyarakat menyakini bahwa nama Surantih diambil dari pohon kayu Meranti besar yang dulu pernah tumbuh di Pasar Lama Padang Api-api.  Pada saat itu daerah Pasar Lama berbentuk delta yang berada di tengah aliran muara sungai Batang Surantih dan anak sungai yang disebut Batang Miri. Karena seiring berjalannya waktu nama ini dialih bunyikan pengucapannya menjadi Surantih agar lebih enak diucap dan didengar, nama Surantih ini juga diberikan pada batang air tersebut sehingga dalam keseharian masyarakat menyebutnya Batang Surantih sedangkan pada masa dahulunya disaat Raja masih berkedudukan di Batu Bala[h] nama batang air ini adalah Galaga Putiah.

c. Versi Peristiwa Adat
Asal nama Nagari Surantih yang lain berasal dari cerita pada saat pemerintahan Raja telah berkedudukan di Ganting Hilir, yaitu di Timbulun. Dikala Raja berserta para pembesarnya (Ikek Nan Ampek, Manti, Dubalang) bermufakat menyusun aturan-aturan adat yang telah dibawa dan diwarisi dari nenek moyang dari Sungai Pagu. Musyawarah tersebut melahirkan kata mufakat tentang susunan adat, yaitu Susunan Rangkaian Adat Nagari Tentang Ikek Nan Ampek. Kemudian Susunan Adat Nagari Tentang Ikek Nan Ampek ini disingkat menjadi nama Surantih. Penjabarannya adalah sebagai berikut:

Susunan
Rangkaian
Adat
Nagari
Tentang
Ikek
nan Ampek.

Disepakatinya aturan ini maka nagari ini sejak saat itu disebut Surantia atau sekarang lebih dikenal dengan nama Surantih. Itulah gambaran mengenai asal mula nama Nagari Surantih yang berkembang dalam pengetahuan masyarakat Surantih sendiri. Terlepas dari mana yang benar dari cerita-cerita tersebut, bagi masyarakat yang menyakini salah satunya, cerita tersebut bagi mereka mempunyai makna tersendiri.

2.    Sejarah Asal Mula Nama Kampung Di Nagari Surantih
            Asal mula nama kampung/tempat yang ada dalam Nagari Surantih mengalami proses yang sama. Asal nama yang diberikan pada kampung yang ada dalam Nagari Surantih adalah pemberian dari peristiwa-peristiwa ketika Raja melewati kampung-kampung itu pertama kalinya.

        A.   Kampung Langgai
1). Nama Kampung Langgai diambil dari peristiwa ketika dalam perjalanan, Raja memerintahkan pada bawahannya untuk berhenti, ucapan Raja “langgan iko kito dolu, lah ganok kito bajalan”. Kata Langgan adalah asal kata nama Kampung Langgai, seiring perjalanan waktu dialih bunyikan menjadi Langgai.
2). Langgai berasal dari kata “inggam” (bahasa asli penduduk dahulu), yang pada masa sekarang berarti “inggo iko awak lai”. Lama-lama kata “inggam” tersebut berubah menjadi Langgai seperti yang kita sebut sekarang ini.                                                                                                    

B.   Kampung Batu Bala[h]
1). Asal nama Kampung Batu Bala[h] diambil dari peristiwa dalam sebuah perjalanan, Raja merasa lelah dan memerintahkan untuk berhenti. “baranti dakok iko kito dolu malapeh lalah”, kata malapeh lalah dijadikan sebagai asal nama Batu Bala[h].
2). Versi lain yang menceritakan asal nama Batu Bala[h] diambil dari peristiwa terjadinya pertengkaran antara dua bersaudara. Perpecahan mereka ini ditandai dengan terbelahnya batu menjadi dua. Batu Belah ini kemudian dijadikan sebagai asal nama Batu Bala[h]. Hingga sekarang cerita ini masih dipercayai masyarakat, termasuk batu belah tersebut masih bisa ditemukan di Kampung Batu Bala[h].

C.   Kampung Kayu Aro
1). Asal nama Kampung Kayu Aro bermula dari peristiwa Raja meminta untuk berhenti, salah seorang pembantu berkata pada Raja “saro”. Kata ini kemudian dialih namakan menjadi nama Kayu Aro.
2). Versi lain dari nama Kayu Aro berasal dari keadaan daerah ini yang banyak terdapat Pohon Kayu Aro. Dari nama pohon inilah nama Kayu Aro dinamakan masyarakat.

D.   Kampung Ampalu
1). Lantaran daerah ini baru berpenghuni di Ganting Mudik, sedangkan orang terus menerus berpindah mencari lahan-lahan baru yang subur. Sementara daerah ini merupakan pintu gerbang ke daerah Ganting Mudik. Pada masa itu oleh Petua-petua Koto Katenggian, ditempatkanlah orang-orang untuk menjaga dan menanyai pendatang apa maksud dan tujuannya. Setelah diketahui maksud dan tujuannya, barulah mereka diberi izin masuk. Karena adanya perlakuan yang demikian kepada setiap orang yang datang, dengan cara mangampal untuk ditanyai sebelum melewati daerah para penjaga tersebut. Lamanya proses itu diberlakukan, maka orang-orang menyebut daerah tersebut dengan nama ampal-u
2). Untuk asal nama Ampalu berawal dari peristiwa Raja memerintahkan untuk berhenti ketika melewati daerah ini. “Baranti kito siko dolu”, dari kata tersebutlah dijadikan nama Kampung Ampalu.
3). Selain itu munculnya nama Ampalu diyakini masyarakat juga berawal dari keadaan daerah ini pada masa dahulunya banyak terdapat buah ampal yang jatuh ke sungai banyak terdapat dipinggiran batang air.

E.    Kampung Kayu Gadang
1). Asal nama Kayu Gadang berawal pada saat Raja melewati daerah ini, ketika akan melalui batang air yang saat itu airnya lumayan deras, setelah sampai di seberang beliau berkata “ baranti dakok kayu ko dolu, litak kito manyubarang aie gadang”, dari peristiwa inilah diberikan nama Kayu Gadang pada daerah tersebut.
2). Cerita lain yang menyebutkan asal nama Kayu Gadang karena pada daerah ini pada zaman dahulu terdapat pohon besar. Begitu besarnya pohon tersebut tidak bisa dipeluk oleh lima orang yang berdiri melingkari pohon kayu tersebut. Dari pohon kayu besar inilah nama Kampung Kayu Gadang diambil.

F.    Kampung Gunung Malelo.
Asal nama Kampung Gunung Malelo bermula diambil dari keadaan lokasi alam. Hal ini dikarenakan kampung ini berada di pinggiran gunung. Zaman dahulu, di daerah ini tinggal hidup basumando ke Kaum Kampai seorang pemuka agama Islam murid dari Syeh Burhanudin yang bergelar Maharajo Lelo (angku adat). Karena begitu segannya masyarakat dalam memanggil nama beliau dalam pergaulan hidup sehari-hari, sehingga beliau dipanggil dengan sebutan Lelo. Karena beliau tinggal di daerah pinggiran gunung akhirnya daerah tersebut disebut masyarakat dengan nama Gunung Malelo.

G.   Kampung Koto Marapak
Nama Kampung Koto Marapak berasal dari peristiwa ketika wakil Raja melakukan perjalanan bersama rombongannya untuk memulai manapaki (menjejaki) lokasi-lokasi koto di nagari ini dan menentukan ajok sepadan Kampung Kayu Gadang. Pada saat berangkat Raja berkata, “Iko panapak’an patamo kito”. Oleh pengiring beliau menjadikan tempat tersebut Koto Marapak.
H.   Kampung Koto Panjang
Asal nama Kampung Koto Panjang muncul berawal dari peristiwa Raja melanjutkan perjalanannya dari Koto Marapak. Ketika memasuki daerah Koto Panjang sekarang ini, melihat daerah yang luas dan panjang Raja berkata, “iko yo panjang dapek dibuek kampung” kata Raja pada pengikutnya. Dari ucapan tersebutlah asal nama Kampung Koto Panjang diambil.

I.      Kampung Timbulun
1). Nama Timbulun berasal dari kebiasaan masyarakat pada masa dahulu dalam melihat air pasang, karena di daerah ini terdapat sebuah Lubuk yang dalam dibatasi oleh sebuah jeram yang dibatasi oleh gugusan batu yang besar. Sehingga ketika air laut pasang batu-batu tersebut akan hilang ditelan air pasang, sebaliknya pada air surut batu tersebut akan kelihatan. Sehingga pada saat seseorang bertanya apa air laut pasang/surut akan berkata, “alah timbua, alun” dikenallah daerah tersebut dengan nama Timbulun.
2). Versi lain menyebutkan bahwa asal nama Timbulun berasal dari peristiwa ketika Raja pindah dari Batu Bala yang melewati Sialang. Setelah beberapa lama mencari lahan baru di seberang air yang memiliki dataran yang luas. Orang dari seberang mengatakan bahwa daerah itu adalah timbalan dari Sialang. Atau memindahkan ke lokasi baru. Dalam dialek bahasa sehari-hari diucapkan timalan, lama-lama berubah bunyi pengucapannya menjadi Timbulun.

J.    Kampung Rawang
Nama kampung ini diambil dari kondisi ekologinya. Setelah masyarakat mulai berkembang, karena daerah ini sebelum berkembang menjadi pemukiman baru merupakan daerah berawa. Akhirnya seiring dengan berjalan waktu orang-orang menyebutnya dengan sebutan Rawang. Maka timbullah nama Kampung Rawang tanpa dikondisikan dengan jelas.

K.   Kampung Sungai Sira[h]
Nama Kampung Sungai Sira[h] juga muncul berkaitan dengan kondisi lingkungan ekologi daerah ini. Karena di daerah ini memiliki sebuah sungai kecil yang memiliki air yang tidak pernah jernih. Tidak jernihnya air sungai dan terus menerus keruh, menimbulkan warna kemerah-merahan pada airnya. Kata merah dalam dialek keseharian masyarakat diucapkan sira[h]. Sehingga sungai tersebut disebut masyarakat Sungai Sira[h] dan lama kelamaan dijadikan sebagai nama daerah tersebut.

L.    Kampung Pasir Nan Panjang
Nama Kampung Pasir Nan Panjang muncul juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan/ekologis. Menurut sejarah dahulu bahwa di kampung ini merupakan daerah pinggiran pasir pantai yang memanjang. Dilihat dari kondisi tanah di kampung yang berpasir menjadi tanda bahwa kampung ini dahulunya merupakan daerah pantai. Setelah berdirinya perkampungan penduduk di daerah ini, orang-orang menyebut nama daerah ini dengan sebutan Kampung Pasir Nan Panjang.

M.   Kampung Pasar Surantih
1). Kampung ini merupakan persekutuan kampung-kampung nagari yang jadi pusat keramaian dan pemerintahan. Pada masa dahulunya kampung ini disebut dengan nama Kampung Berhimpun[1]. Orang yang berasal dari luar mengenalnya dengan sebutan Surantih, itu pula sebabnya kampung tersebut akhirnya bernama Pasar Surantih.
2). Pada masa dahulunya Nagari Surantih memiliki Pasar Nagari di Padang Api-api. Di sana tumbuh sebatang pohon meranti besar, tempat orang berjual beli, sehingga orang luar Surantih hanya mengenal batang pohon tersebut dengan nama Meranti. Lama-lama kata meranti itu berubah menjadi Surantih.
Selain nama kampung-kampung di atas, ada nama-nama tempat yang muncul karena erat kaitannya dengan sejarah perkembangan nagari, yaitu :

N.   Singkulan.
Nama Singkulan berasal dari peristiwa yang terjadi pada masa dahulu diadakannya suatu pertemuan oleh 19 orang yang memangku gelar Datuk guna memusyawarahkan pencarian daerah baru yang akan dijadikan pemukiman baru karena pada saat Koto Katenggian sebagai daerah pelacohan pertama tidak bisa lagi menampung penduduk yang seiring berjalannya waktu terus bertambah. Tempat para Datuk tersebut mengadakan musyawarah dinamakan perkumpulan. Nama perkumpulan ini lama kelamaan dirubah bunyinya menjadi Singkulan.

O.  Lambung Bukik
Nama daerah ini berasal dari peristiwa alam robohnya sebuah Kayu Gadang ke sungai. Begitu besarnya hingga hempasannya sampai ke seberang sungai. Akibatnya percikan atau lambuang air sampai ke puncak bukit kecil dusun tersebut. Maka dari peristiwa itulah muncul nama daerah yang disebut Lambung Bukit.



[1] Kampung Berhimpun merupakan tempat perkumpulan/perhimpunan yang masyarakatnya berasal dari berbagai penjuru daerah dan kaum yang beragam.