Rabu, 30 Mei 2012

Kekuatan Alam Pikiran Manusia

Berbicara tentang manusia tentunya akan mengkaji segala sesuatu yang terdapat pada diri manusia dan yang ada di sekitar dirinya. Dalam menjalani kehidupan, manusia memiliki dua sisi kehidupan, yaitu; manusia sebagai seorang individu dan manusia sebagai anggota masyarakat. Di bandingkan dengan mahluk lain yang hidup dalam tatanan alam semesta ini, manusia memiliki “anugerah” yang memberikan peran lebih dari mahluk lainnya. Secara tidak langsung Cassirer (Minsarwati, 2002: 33) menjelaskan pandangannya  tentang anugerah ini, bahwa manusia itu merupakan binatang pemakai simbol (animal symbolicum). Simbol inilah yang membedakan antara manusia dengan binatang. Manusia mempunyai kemampuan membentuk lambang, karena itu mampu menampilkan dirinya di dalam kegiatan-kegiatan dan hasil-hasil yang simbolik. Simbol yang digunakan manusia dalam hidupnya, pada dasarnya berawal dari keterbatasan pikiran manusia dalam memecahkan dan menjawab fenomena yang mereka hadapi dalam keseharian hidupnya. Sekilas jika dilihat pikiran yang ada pada manusia adalah anugerah terpenting yang dimiliki manusia, dan memberikan kelebihan bagi manusia dibandingkan dengan mahluk  lain. Namun anugerah tersebut tidak akan berfungsi jika tidak ada media, alat bantu yang dapat memberikan gambaran bagaimana berkerjanya pikiran manusia (Human mind).
Simbol yang begitu berperan dalam perkembangan sejarah kehidupan manusia adalah bahasa. Dalam pandangan Levi-Strauss (Ahimsa, 2001: 80) bahasa adalah media, alat atau sarana untuk komunikasi, untuk menyampaikan pesan-pesan dari satu individu ke individu yang lain, dari kelompok yang satu ke kelompok yang lain.  Sementara itu Derrick Bickerton (Leackey, 2003: 156) menjelaskan bahwa hanya bahasa yang bisa menerobos sekat-sekat yang memenjarakan pengalaman langsung dimana semua mahluk lain terkurung, yang melepaskan kita ke dalam kebebasan ruang dan waktu yang tak terhingga. Hal ini memberikan asumsi bahwa pikiran manusia yang dianggap sebagai elemen yang membuat manusia berbeda dan memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan mahluk lain, pada dasarnya juga memiliki keterbatasan bagi manusia dalam menjalani kehidupannya.
 Berangkat dari fenomena tentang pikiran yang dimiliki manusia. Dalam penelitian ini didasarkan pada gejala-gejala, aspek-aspek yang terkait dan dampak yang ditimbulkan oleh pikiran manusia dalam menjalani kehidupannya. Untuk menerjemahkan tersebut, dalam kontek kerangka penelitian ini diuraikan melalui tiga pokok pemikiran para ahli, yaitu; Sigmund Freud, Clifford Geertz dan Levi Strauss.  Asumsi dasar yang melandasi kenapa pemikiran ketiga para ahli tersebut digunakan dalam kerangka penelitian ini. Pada dasarnya pemikiran dan teori yang dikembangkan oleh masing-masing tokoh tersebut. Pada penelitian ini menjadi alat analisis utama. Hal ini didasari pandangan bahwa teori kepribadian, konsep kebudayaan dan analisis strukturalisme Levi – Strauss dalam menganalisis mitos. Terdapat suatu kesamaan yang melandasi munculnya teori-teori yang mereka kembangkan, yaitu berawal dari interaksi dan pertentangan dari dua unsur, yang mana dari hubungan tersebut muncul unsur penyeimbang atau sebagai daerah liminal.
Secara general persamaan dari pokok pikiran dari ketiga tokoh tersebut, dari pemikiran dan teori yang telah mereka kembangkan akan digambarkan melalui bagan berikut ini.
Gambar 1
Skema alur pemikiran[1]

Dari gambaran skema di atas, terlihat persamaan dari pemikiran dan teori yang dikembangkan Freud tentang kepribadian dan Geertz tentang konsep kebudayaan interpretatifnya. Kedua pemikiran tokoh tersebut secara tidak langsung juga menjadi jelmaan dari teori dan pemikiran Levi – Strauss tentang analisis Strukturalisme dalam mengambarkan struktur dasar pikiran manusia yang pada dasarnya berawal dari oposisi binar dari dua unsur, yang mana hubungan dari oposisi binar tersebut memunculkan  daerah penyeimbang (liminal)[2]. Berdasarkan landasan pikiran ketiga tokoh tersebut, dalam penelitian ini mencoba mengungkap fenomena dan gejala yang terdapat dalam pikiran manusia, khususnya perwujudan dari pikiran bawah sadar (uncouncious wishes).
Berkaitan dengan pikiran yang ada pada manusia, Sigmund Freud mempunyai pandangan tersendiri mengenai pikiran manusia. Dalam konteks psikoanalisa, menurut Freud (2002: 11) pikiran adalah perbandingan proses merasakan, proses berfikir dan harapan-harapan, dan juga mempertahankan cara-cara berfikir yang tidak disadari dan harapan-harapan yang tidak disadari. Freud (L, Pals, 2001: 86) melihat bahwa pikiran manusia terdiri dari dua bagian, yaitu; pikiran sadar (consious thought) dan pikiran bawah sadar (unconsious). Menurut Freud pikiran sadar adalah kondisi/keadaan dimana manusia sadar atau mengetahui ide-ide yang melandasi aktivitas dan tindakan apa yang sedang dilakukannya. Contoh saat kita berbicara dengan teman kita, menulis cek, bermain atau membaca buku, kita tidak hanya mengunakan pikiran, tetapi juga sadar dan tahu kita sedang mengunakan. Sedangkan pikiran bawah sadar adalah wilayah lain dari pikiran manusia yang sangat dalam, tersembunyi, banyak dan sangat kuat. Meski tidak disadari, pikiran bawah sadar memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pertama, pikiran bawah sadar adalah sumber dorongan jasmaniah manusia paling dasar, seperti keinginan untuk makan dan aktivitas seksual. Kedua, bergabungnya pikiran bawah sadar dengan keinginan jasmaniah akan menciptakan ikatan luar biasa dari ide, kesan dan emosi-emosi yang dapat dihubungkan  dengan segala hal yang dapat dialami, dilakukan atau ingin dilakukan.
            Ahli lain yang meneliti kajian tentang kekuatan alam bawah sadar manusia adalah Carl Gustav Jung. Pada dasarnya Jung melihat pada jiwa manusia terdiri dari pikiran sadar dan yang tidak sadar. Dalam pandangan Jung (Morris, 2003: 209) pikiran adalah fenomena sementara (ephemerical phenimenon) yang menyempurnakan semua adaptasi dan orientasi temporal. Sedangkan alam bawah sadar menurut Jung (Van Baal, 1988: 41) terdiri dari yang tidak disadari secara pribadi dan yang tidak disadari secara kolektif. Yang tidak disadari secara pribadi mencakup apa yang tersedia langsung bagi manusia sebagai ingatan, sebagai sesuatu yang sama sekali atau setengah terlupakan, tertidur dasar ingatannya, sisa dari pengalaman, dan juga semua isi kesadaran yang terdesak. Yang tidak disadari secara kolektif merupakan seluruh warisan spiritual evolusi manusia yang dilahirkan kembali dalam struktur otak setiap individu.
            Kekuatan alam bawah sadar dalam kehidupan manusia merupakan sumber kekuatan bagi manusia untuk tetap mempertahankan “keberlangsungan hidup” (survival) dengan menciptakan kebudayaan yang membedakan manusia dalam beradaptasi dan bertahan hidup di bandingkan dengan mahluk lain. Pendapat kedua ahli tersebut telah memberikan alasan dan gambaran yang kuat dari mana sumber kekuatan hidup manusia. Namun dari penjelasan yang telah mereka kemukakan tentang kekuatan pikiran manusia yang bersumber pada pikiran/alam bawah sadar, secara tidak langsung memperlihatkan sumber kelemahan bagi manusia dalam menjalani kehidupannya. Indikasi ini dapat dilihat dari “keterbatasan” manusia dalam mengunakan dan mengkontrol kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam pikiran terutama yang berada pada alam bawah sadar.
            Tylor[3] memberikan bukti dari “keterbatasan” pikiran manusia, dalam kajiannya tentang sumber penyebab terjadinya agama dalam kehidupan masyarakat sederhana, yaitu Animisme. Dalam analisanya tentang rekonstruksi pemikiran awal manusia mengenai fenomena biologis yang ada dalam kehidupan masyarakat sederhana, yaitu; melalui peristiwa tidur, mimpi, pingsan dan mati yang mereka alami. Sedangkan Sigmund Freud (2002)[4] melalui kajian psikoanalisa menjelaskan tentang represi yang dialami pada manusia yang muncul melalui peristiwa mimpi dan munculnya gejala neuorotis. Freud menyimpulkan penyebab terjadinya peristiwa tersebut pada pikiran bawah sadar manusia ketika keinginannya tidak terpenuhi sehingga ia mengalami represi. Represi menurut Freud (2002: 372) adalah proses mental yang disadari (bagian dari sistim pra sadar) dibuat menjadi tidak disadari atau dipaksa kembali ke alam bawah sadar. Gejala ini dapat dilihat melalui perilaku yang muncul tidak irrasional lagi, seperti gerakan tanpa tujuan (persis orang mabuk), rasa takut yang tak berdasar, perasaan sayang yang tidak rasional dan lain-lain. Marx dari tulisannya juga memperlihatkan keterbatasan pikiran manusia melalui pernyataanya dalam buku German Ideology (1939)[5]. Dalam buku ini Marx menulis bahwa “bukan kesadaran manusia yang menentukan keberadaannya, namun sebaliknya, keberadaan sosial merekalah yang menentukan kesadarannya”. Melalui asumsi ini Marx menjelaskan bahwa manusia dalam menjalani kehidupannya tidak dapat mengunakan kesadaran dan kekuatan pikiran mereka, karena menurut Marx kekuatan yang berada diluar pikiran manusia, seperti; ekonomi, sejarah kehidupan, politik dan lain-lain, lebih kuat mempengaruhi kehidupan mereka. Sehingga dari analisanya itu Marx menyatakan manusia dalam kehidupannya lebih banyak mengalami kesadaran palsu.
            Dampak yang muncul dari keterbatasan pikiran manusia yang bersumber dari ketidakmampuan manusia dalam menggunakan kekuatan pikiran bawah sadar, mengakibatkan manusia dalam kehidupannya mengandung konflik yang tersembunyi. Freud telah memberikan gambaran akibat dari adanya konflik yang tersembuyi dalam kehidupan manusia, yaitu dengan munculnya keadaan represi yang berawal dari kebutuhan dan keinginan yang tidak terpenuhi[6]. Menurut Freud, keadaan ini akan memberikan pengaruh terhadap pembentukkan kepribadian manusia.
Berbicara mengenai konsep kepribadian, belum ada suatu konsep baku yang dapat digunakan sebagai acuan/pedoman dalam suatu kajian, dari perumusan konsep kepribadian yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli, dalam penelitian ini mengunakan konsep kepribadian individual Freud. Dalam pandangan Freud (Fromm, 2002: 129) kepribadian manusia terdiri dari tiga bagian yaitu; Id, Ego dan Super-ego. Id merupakan presentasi dari seluruh keinginan instingtual, dan karena sebagian besar keinginan-keinginan ini tidak diizinkan sampai pada tingkat kesadaran (pikiran bawah sadar). Super-ego merupakan presentasi dari pengaruh-pengaruh yang sejak lahir telah dimasukkan ke dalam kepribadian seorang individu dari dunia luar (sistem sosial). Super-ego adalah prilaku dan harapan yang diberikan masyarakat, yang dibentuk oleh institusi yang ada dalam kehidupan, seperti: keluarga, suku, masyarakat dan lain-lain. Ego merupakan presentasi dari kepribadian manusia yang terorganisasi sejauh mampu mengamati realitas dan melaksanakan fungsi apresiasi realistik, setidaknya menyangkut masalah keberlangsungan hidup (kebudayaan). Ego bisa dikatakan sebagai pusat penentu kepribadian manusia. Tugas utamanya adalah menampilkan keseimbangan yang berlangsung secara terus menerus dalam hidup manusia (penyeimbang antara kepribadian Id dan Super-ego).
Dari gambaran ini kita dapat mengetahui unsur-unsur yang menjadi penyebab terjadinya konflik pada diri manusia dan pengaruhnya terhadap kepribadian yang berawal dari pertentangan Id (pikiran, terutama pikiran bawah sadar) dengan Super-ego (sistim sosial). Konflik ini dipicu keinginan atau kebutuhan hidup yang ingin dipenuhi tapi bertentangan dengan tatanan kehidupan yang ada. Misal seorang wanita, dalam pikirannya ia memiliki kemampuan untuk berperan di wilayah publik, seperti berkerja di kantor sama dengan peran yang dilakukan laki-laki (suaminya). Namun karena kesepakatan sosial budaya yang berlaku dalam kehidupan kelompok masyarakatnya, wanita tersebut harus memendam keinginannya itu dan terpaksa hanya dapat berperan dalam kehidupan rumah tangganya. Kondisi ini tanpa disadari wanita menimbulkan perasaan tertekan bagi dirinya karena keinginannya tak dapat ia wujudkan, sehingga tanpa disadarinya akan berpengaruh terhadap prilaku dan tindakannya.
Semenjak awal perkembangan kehidupan manusia. untuk mengatasi hal ini, manusia sebagai binatang  pencipta simbol  memanfaatkan kelebihannya ini sebagai cara untuk keluar dari konflik yang selalu mewarnai perjalanan kehidupannya. Biasanya keinginan yang tidak bisa terpenuhi dalam kehidupan sehari-hari oleh manusia. Semula keinginan tersebut berada pada pikiran sadarnya, namun karena tidak bisa diwujudkan keinginan tersebut akan ditekan pada pikiran bawah sadar yang akan menimbulkan keadaan represi bagi mereka. Untuk memenuhi keinginan yang tidak bisa terpenuhi tersebut, mereka wujudkan dalam pikiran bawah sadar sehingga ada kalanya keinginan tersebut muncul dalam peristiwa mimpi. Dalam kehidupan nyata manusia mengekspresikan konflik-konflik yang ada dalam kehidupan mereka itu dengan mengunakan kemampuan simboliknya sebagai alat terapi (Morris, 2003: 210-212).
Dari uraian sebelumya, secara tersirat alat terapi tersebut telah disebutkan. Misalnya penelitian Tylor yang mengkaji keterbatasan pikiran manusia dalam menghadapi peristiwa tidur, pingsan dan mati. Manusia primitif memecahkannya melalui kepercayaan agama (animisme). Simbol-simbol lain yang digunakan sebagai alat terapi bagi manusia, mengekspresikanya melalui mitos, karya seni, dan bahasa.  Bahkan Jung (Morris, 2003: 211) memandang “alam bawah sadar kolektif” (mitos dan agama) mempunyai fungsi penting bagi kepribadian manusia, tidak hanya memberi makna terhadap eksistensi yang dikenal, tapi juga mempunyai peran terapi.
Seirama dengan pandangan Freud dan Jung mengenai bagaimana pikiran bawah sadar dan dampak yang ditimbulkan (hubungan) secara timbal balik dengan sistim sosial dalam kehidupan manusia, dan dampak peristiwa mimpi akibat represi. Dalam pandangan Levi-Strauss (Ahimsa, 2001: 79) terekspresikan pada cerita berbentuk mitos yang merupakan perwujudan dari unconscious wishes, keinginan-keinginan yang tidak disadari. Berbicara tentang cerita mitos, dengan asumsi pemikiran di atas setiap masyarakat memilikinya. Hal ini mengindikasikan mitos memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Mitos yang merupakan gejala kebudayaan manusia, dengan sendirinya dapat dijadikan sebagai alternatif untuk melihat gambaran keadaan kehidupan masyarakat yang menyakini. Demikian halnya dengan kepribadian yang dimiliki masyarakat tersebut dapat ditelaah melalui mitos yang ada karena antara mitos dan kepribadian masyarakat sama-sama berawal dari pikiran bawah sadar manusia.
Keterkaitan mitos dan kepribadian dapat kita lihat dari keberadaan mitos itu sendiri dalam kehidupan manusia. Menurut Eliade (Minsarwati, 2002: 22) kata mitos berasal dari bahasa Inggris “Myth” yang berarti dongeng atau cerita yang dibuat-buat. Dalam bahasa Yunani disebut dengan “Muthos” yang berarti cerita mengenai Tuhan dan Suprahuman Being, Dewa-dewa. Menurut Van Baal (1987: 44) mengemukakan mitos sebagai cerita dalam kerangka sistim suatu religi di masa lalu atau di masa kini telah atau sedang berlaku sebagai kebenaran agama.
Dalam kamus antropologi mitos diartikan suatu seruan terhadap apa yang mereka alami untuk membuktikan kebenaran kepercayaan mereka terhadap nilai-nilai, tindakan-tindakan yang merupakan konsepsi rakyat primitif tentang sesuatu yang mereka anggap suci dan hubungannya dengan perbuatan-perbuatan manusia (Suyono, 1985: 260). Sementara itu Ahimsa Putra (2001: 187) istilah mitos, mite, biasanya mengingatkan kita pada suatu cerita yang aneh, janggal atau lucu, dan umumnya sulit untuk dimengerti maknanya, tidak dapat diterima kebenarannya, atau tidak perlu ditanggapi secara serius isinya. Sedangkan dalam konteks strukturalisme Levi-Strauss mitos adalah cerita yang merupakan sebuah kisah atau cerita yang lahir dari imajinasi manusia, dari khayalan manusia walaupun unsur-unsur khayalan tersebut berasal dari apa yang ada dalam kehidupan manusia sehari-hari (Ahimsa, 2001: 77).
Dari uraian beberapa konsep tentang mitos di atas, dapat disimpulkan bahwa mitos adalah suatu cerita (tradisi lisan) yang mengisahkan suatu peristiwa yang dapat diterima pikiran atau tidak, cerita (tradisi lisan) itu muncul dari hasil imajinasi pikiran manusia yang berinteraksi dengan nilai-nilai, tindakan-tindakan yang dimiliki dan lingkungan alam tempat berlangsungnya kehidupan masyarakat pemilik cerita. Perumusan ini didasarkan pada asumsi bahwa mitos sebagai  tradisi lisan merupakan sebuah fenomena budaya yang paling tepat untuk diteliti bilamana kita ingin mengetahui kekangan-kekangan yang ada dalam gerak dan dinamika pikiran manusia, demikian juga dengan kepribadian yang dimilikinya. Berangkat dari hal tersebut, tentunya cerita lisan (seperti mitos) dan kepribadian yang ada dalam masyarakat berkembang dari nilai-nilai rasional dan irrasional pikiran manusia sehingga terbentuk simbol-simbol yang menjadi pedoman bagi masyarakat dalam berprilaku berdasarkan tatanan kehidupannya. Nilai-nilai yang telah menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat akhirnya bermuara pada kebudayaan. Konteks kebudayaan yang dimaksudkan   adalah   konsep  kebudayaan   yang dikemukakan Geertz (1992, 3):
“Menurutnya kebudayaan adalah pola-pola makna yang diwariskan secara historis yang terwujud dalam simbol-simbol....... yang digunakan manusia untuk berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikapnya terhadap kehidupan”.

Berdasarkan definisi Geertz, cerita lisan dan kepribadian yang dimiliki masyarakat merupakan wujud dari hasil kebudayaan. Karena cerita lisan dan kepribadian masyarakat hasil simbolisasi dari kekuatan pikiran manusia setelah berinteraksi dengan lingkungannya (sistim sosial). Kedua simbol ini mengandung  makna tersendiri bagi masyarakat yang memilikinya. Meskipun cerita lisan (seperti mitos) hanya sebuah cerita yang dianggap sekedar penghibur di waktu senggang.
Makna yang dimaksudkan pada cerita lisan dan kepribadian adalah arti dibalik sesuatu (makna yang tersembunyi). Levi-Strauss (Ahimsa, 2001: 140) sendiri mengungkapkan bahwa dalam mitos terdapat makna-makna, di mana makna-makna tersebut sering kali merupakan suatu ungkapan simbolis dari konflik-konflik bathiniah yang ada dalam kehidupan masyarakat, atau merupakan suatu sarana untuk mengelakkan , memindahkan dan mengatasi kontradiksi-kontradiksi empiris yang tak terpecahkan. Kemudian Strauss (Paz, 1997: XX) menegaskan lagi bahwa makna itu sendiri bukanlah sesuatu yang mudah untuk dimaknai atau diberi arti. Dikaitkan dengan pendapat Geertz, kebudayaan sebagai pola-pola makna yang terwujud dalam simbol, maka pengertian makna bagi Levi-Strauss (Paz, 1997: XXi) sering diartikan sebagai fungsi dalam pengertian logika.
Dalam pengungkapan makna mitos yang dilakukan Levi – Strauss dengan analisis Strukturalisme. Langkah yang paling mendasar dalam pengungkapan makna yang ingin diungkap adalah dengan mancari dan menemukan mitema/ceriteme yang terdapat dalam cerita. Miteme adalah unsur terkecil dari bahasa mitos. Miteme menurut Levi-Strauss (Ahimsa, 2001: 95) adalah unsur-unsur dalam konstruksi wacana mistis, yang juga merupakan satuan-satuan yang bersifat bertentangan (oppositional) relatif dan negatif (purely differential and contentless sign).
Miteme-miteme yang ditemukan disusun secara sinkronis dan diakronis, paradigmatis dan sintagmatis. Penyusunan dengan cara ini bertujuan untuk melihat dan menemukan relasi yang muncul dari miteme-miteme yang ada. Unit-unit yang harus dianalisis lebih lanjut adalah kumpulan-kumpulan relasi ini, karena relasi merupakan gambaran yang menunjukkan suatu subjek yang menunjukkan suatu fungsi tertentu (Ahimsa, 2001 : 96)
Menurut Leach (Ahimsa, 2001:111) relasi-relasi dalam mitos ditampilkan secara langsung ataupun secara tersirat dalam rupa: 1) relasi antar manusia dan binatang, mahkluk supra natural yang beraneka ragam, 2) relasi antara kategori makanan dan cara menyiapkan, 3) relasi antara kategori suara dengan kesenyapan, 4) relasi antara bau dan rasa, dan lain-lain.
Penyusunan miteme secara sintagmatis adalah cara pandang bahwa bahasa mempunyai arti apabila dikaitkan dengan unsur yang mendahului atau yang mengakhirinya (Ahimsa, 2001: 47).  Jadi makna dari bahasa itu tergantung dari relasinya dengan unsur yang ada dalam bahasa tersebut. Untuk  memahami masalah yang berkaitan dengan sosial budaya, cara pandang sintagmatis berubah menjadi diakronis. Dengan kata lain masalah  sosial yang muncul ditengah masyarakat itu terjadi karena sebab akibat.
Sedangkan penyusunan miteme secara paradigmatis adalah cara pandang bahwa bahasa mempunyai kaitan (relasi) dengan elemen-elemen lain diluar bahasa  (Ahimsa, 2001: 50). Hal ini mengasumsikan bahwa bahasa tidak mesti tergantung dengan elemen yang ada pada tata bahasa sendiri. Dalam masalah sosial paradigmatis berubah menjadi sinkronis (vertikal). Artinya masalah yang timbul dalam masyarakat akan dipahami setiap orang atau kelompok sesuai dengan cara pemahaman sosial yang berkembang dalam masyarakat/emik.
Dalam proses penyusunan miteme  di atas, untuk dapat mengungkap makna yang tersembunyi dalam cerita. Pengunaan prinsip oposisi binar dari relasi-relasi yang muncul antar miteme/ceriteme yang ada, sangat melandasi dalam mengungkap makna dari unit-unit relasi yang ditemukan. Oposisi binar adalah struktur dasar makna yang merupakan salah satu kerja otak yang paling mendasar, ini adalah prinsip penstrukturan kebudayaan yang dalam dan paling awal (Jenskins, 2004: 36).
Oposisi binar, oposisi berpasangan (Binary opposition) memliki dua pengertian, yaitu oposisi binar bersifat ekslusif, seperti misalnya pada ‘p’ dan (‘-p’) (bukan ‘p’). Oposisi semacam ini ada misalnya pada kategori, seperti menikah dan tidak menikah. Pengertian yang kedua oposisi binar yang tidak ekslusif yang kita temukan dalam berbagai macam kebudayaan, seperti misalnya oposisi : air – api; gagak – elang ; siang – malam ; matahari – rembulan ; dan sebagainya. Menurut Lane (Ahimsa, 2001 :70) logikanya oposisi ini memang tidak ekslusif, namun dalam kontek-kontek yang khusus, mereka yang mengunakannya menganggap ekslusif.
Dalam analisis strukturalisme, oposisi binar tampak dalam bentuk sejumlah  mekanisme mental, seperti pengulangan (repetisi) dan pelipatgandaan (reduplikasi), pertentangan (oposisi), pembalikan (inversi), simetri, paralelisme dan sebagainya. Terjadinya penyusunan tatanan sistim jaringan relasi binar – polar adalah lewat kegiatan transformasi. Melalui tarnsformasi antar unsur-unsur dan struktur yang terdapat dalam relasi – relasi antar manusia dalam kerangka yang lebih bervariasi yang ada dalam cerita (mitos), seperti misalnya: status sosial, persahabatan dan perselisihan, boleh tidaknya behubungan sek dan saling ketergantungan. Tarnsformasi yang dimaksudkan dalam penelitian ini bukanlah perubahan (change), tapi konsep transfomasi menurut Ahimsa Putra, yaitu: transformasi yang diterjemahkan sebagai alih rupa. Artinya dalam transformasi yang berlangsung perubahan pada tataran permukaan, sedang pada tataran yang lebih dalam lagi perubahan tersebut tidak terjadi, hal ini bisa berlaku sebaliknya namun inti pesan yang disampaikan tidak berubah (Ahimsa, 2001: 62)
Selain melalui kegiatan transformasi, untuk mengetahui makna dan rasionalitas dasar yang ada dalam sebuah cerita (mitos). Menurut Damis (1999: 94) dapat lebih mudah dipahami apabila kebudayaan dimana tempat mitos itu hidup juga dipahami dengan baik. Sebagai suatu fenomena yang bermakna, suatu dongeng juga dapat dilihat sebagai suatu fenomena kebahasaan, yang baru dapat dipahami jika kita telah mengetahui struktur dan makna berbagai elemen yang ada di dalamnya.
Menurut Levi – Strauss (Ahimsa, 2001: 139-140) hubungan makna yang terungkap dari cerita dengan realitas kehidupan masyarakat pemilik cerita, bersifat dialektic, dialektis. Artinya apa yang terdapat dalam mitos bisa merupakan kebalikkan dari apa yang ada dalam kenyataan sehari-hari. Jadi makna yang terungkap dari cerita (mitos) sebenarnya tidak berupaya untuk melukiskan atau menampilkan apa yang ada tetapi untuk membenarkan (justify) kekurangan-kekurangan yang ada dalam kenyataan. Berdasarkan hal ini, Strauss menyimpulkan bahwa cerita (yang berbentuk pemitosan dan mitologisasi) adalah sebuah pengakuan bahwa setelah ditelaah ternyata fakta-fakta sosial mengandung suatu kontradiksi yang tak terpecahkan, tak terselesaikan, tak terpahami dan karena itu pula orang lebih suka melupakannya melalui cerita (mitos) mereka. Pada fakta inilah Levi – Strauss mendasarkan upayanya untuk memperlihatkan pada kita bahwa melalui cerita (mitos) kita dapat mengetahui kategori-kategori dalam nalar manusia yang berada dalam tataran nir sadar.


[1] Bagan skema di atas, khususnya pendapat Geertz tentang kebudayaan, dikutip dari tulisan Zainal Arifin tentang Konsep Kebudayaan yang dimuat dalam Jurnal Antropologi tahun II. No:3. Padang Laboratorium Mentawai FISIP-UNAND.
[2] Menurut Turner, bahwa ciri pokok liminalitas adalah ambiguity dan paradoks. Ini bisa berarti “neither living nor dead from one aspect, and both living and dead from another”. Lihat dan baca Ahimsa (2001: 300).
[3] Lihat dan baca tulisan Daniel L Pals dalam buku Dekonstrksi: Kebenaran Kritik Tujuh Teori Agama. Yogyakarta, Ircisod (2003, 40 – 45).
[4]Lihat dan baca buku Psikoanalisis Sigmund Freud. Diterjemahkan oleh Ira PuspitoriniYogyakarta.Ikon.
[5] Lihat dan baca tulisan Erich Fromm yang berjudul Konsep Manusia Menurut Marx (2001; 26) dan Beyond The Chains of Illusion-pertemuan saya dengan Marx dan Freud (2002).
[6] Freud lebih lanjut menjelaskan tentang konflik yang tersembunyi dalam kehidupan manusia. Dalam kajiannya mengenai kisah Oedipus Complex. Lihat dan baca Psikoanalisis Sigmund Freud (2002:362).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar