Berbicara tentang
manusia tentunya akan mengkaji segala sesuatu yang terdapat pada diri manusia
dan yang ada di sekitar dirinya. Dalam menjalani kehidupan, manusia memiliki
dua sisi kehidupan, yaitu; manusia sebagai seorang individu dan manusia sebagai
anggota masyarakat. Di bandingkan dengan mahluk lain yang hidup dalam tatanan
alam semesta ini, manusia memiliki “anugerah” yang memberikan peran lebih dari
mahluk lainnya. Secara tidak langsung Cassirer (Minsarwati, 2002: 33)
menjelaskan pandangannya tentang
anugerah ini, bahwa manusia itu merupakan binatang pemakai simbol (animal symbolicum). Simbol inilah yang membedakan antara
manusia dengan binatang. Manusia mempunyai kemampuan membentuk lambang, karena
itu mampu menampilkan dirinya di dalam kegiatan-kegiatan dan hasil-hasil yang simbolik. Simbol yang digunakan
manusia dalam hidupnya, pada dasarnya berawal dari keterbatasan pikiran manusia
dalam memecahkan dan menjawab fenomena yang mereka hadapi dalam keseharian
hidupnya. Sekilas jika dilihat pikiran yang ada pada manusia adalah anugerah
terpenting yang dimiliki manusia, dan memberikan kelebihan bagi manusia
dibandingkan dengan mahluk lain. Namun
anugerah tersebut tidak akan berfungsi jika tidak ada media, alat bantu yang
dapat memberikan gambaran bagaimana berkerjanya pikiran manusia (Human mind).
Simbol yang begitu
berperan dalam perkembangan sejarah kehidupan manusia adalah bahasa. Dalam
pandangan Levi-Strauss (Ahimsa, 2001: 80) bahasa
adalah media, alat atau sarana untuk komunikasi, untuk menyampaikan pesan-pesan
dari satu individu ke individu yang lain, dari kelompok yang satu ke kelompok
yang lain. Sementara itu Derrick
Bickerton (Leackey, 2003: 156) menjelaskan bahwa hanya bahasa yang bisa
menerobos sekat-sekat yang memenjarakan pengalaman langsung dimana semua mahluk
lain terkurung, yang melepaskan kita ke dalam kebebasan ruang dan waktu yang
tak terhingga. Hal ini memberikan asumsi bahwa pikiran manusia yang dianggap
sebagai elemen yang membuat manusia berbeda dan memiliki kelebihan jika
dibandingkan dengan mahluk lain, pada dasarnya juga memiliki keterbatasan bagi
manusia dalam menjalani kehidupannya.
Berangkat dari fenomena
tentang pikiran yang dimiliki manusia. Dalam penelitian ini didasarkan pada
gejala-gejala, aspek-aspek yang terkait dan dampak yang ditimbulkan oleh
pikiran manusia dalam menjalani kehidupannya. Untuk menerjemahkan tersebut,
dalam kontek kerangka penelitian ini diuraikan melalui tiga pokok pemikiran
para ahli, yaitu; Sigmund Freud, Clifford Geertz dan Levi Strauss. Asumsi dasar yang melandasi kenapa pemikiran
ketiga para ahli tersebut digunakan dalam kerangka penelitian ini. Pada
dasarnya pemikiran dan teori yang dikembangkan oleh masing-masing tokoh
tersebut. Pada penelitian ini menjadi alat analisis utama. Hal ini didasari
pandangan bahwa teori kepribadian, konsep kebudayaan dan analisis
strukturalisme Levi – Strauss dalam menganalisis mitos. Terdapat suatu kesamaan
yang melandasi munculnya teori-teori yang mereka kembangkan, yaitu berawal dari
interaksi dan pertentangan dari dua unsur, yang mana dari hubungan tersebut
muncul unsur penyeimbang atau sebagai daerah liminal.
Secara general persamaan dari pokok pikiran dari ketiga tokoh tersebut, dari pemikiran dan teori yang telah mereka kembangkan akan digambarkan melalui bagan berikut ini.
Secara general persamaan dari pokok pikiran dari ketiga tokoh tersebut, dari pemikiran dan teori yang telah mereka kembangkan akan digambarkan melalui bagan berikut ini.
Gambar
1
Skema
alur pemikiran[1]
Dari gambaran skema di atas, terlihat
persamaan dari pemikiran dan teori yang dikembangkan Freud tentang kepribadian
dan Geertz tentang konsep kebudayaan interpretatifnya. Kedua pemikiran tokoh
tersebut secara tidak langsung juga menjadi jelmaan dari teori dan pemikiran
Levi – Strauss tentang analisis Strukturalisme dalam mengambarkan struktur
dasar pikiran manusia yang pada dasarnya berawal dari oposisi binar dari dua
unsur, yang mana hubungan dari oposisi binar tersebut memunculkan daerah penyeimbang (liminal)[2].
Berdasarkan landasan pikiran ketiga tokoh tersebut, dalam penelitian ini
mencoba mengungkap fenomena dan gejala yang terdapat dalam pikiran manusia,
khususnya perwujudan dari pikiran bawah sadar (uncouncious wishes).
Berkaitan dengan pikiran yang ada pada manusia, Sigmund Freud mempunyai pandangan tersendiri mengenai pikiran manusia. Dalam konteks psikoanalisa, menurut Freud (2002: 11) pikiran adalah perbandingan proses merasakan, proses berfikir dan harapan-harapan, dan juga mempertahankan cara-cara berfikir yang tidak disadari dan harapan-harapan yang tidak disadari. Freud (L, Pals, 2001: 86) melihat bahwa pikiran manusia terdiri dari dua bagian, yaitu; pikiran sadar (consious thought) dan pikiran bawah sadar (unconsious). Menurut Freud pikiran sadar adalah kondisi/keadaan dimana manusia sadar atau mengetahui ide-ide yang melandasi aktivitas dan tindakan apa yang sedang dilakukannya. Contoh saat kita berbicara dengan teman kita, menulis cek, bermain atau membaca buku, kita tidak hanya mengunakan pikiran, tetapi juga sadar dan tahu kita sedang mengunakan. Sedangkan pikiran bawah sadar adalah wilayah lain dari pikiran manusia yang sangat dalam, tersembunyi, banyak dan sangat kuat. Meski tidak disadari, pikiran bawah sadar memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pertama, pikiran bawah sadar adalah sumber dorongan jasmaniah manusia paling dasar, seperti keinginan untuk makan dan aktivitas seksual. Kedua, bergabungnya pikiran bawah sadar dengan keinginan jasmaniah akan menciptakan ikatan luar biasa dari ide, kesan dan emosi-emosi yang dapat dihubungkan dengan segala hal yang dapat dialami, dilakukan atau ingin dilakukan.
Berkaitan dengan pikiran yang ada pada manusia, Sigmund Freud mempunyai pandangan tersendiri mengenai pikiran manusia. Dalam konteks psikoanalisa, menurut Freud (2002: 11) pikiran adalah perbandingan proses merasakan, proses berfikir dan harapan-harapan, dan juga mempertahankan cara-cara berfikir yang tidak disadari dan harapan-harapan yang tidak disadari. Freud (L, Pals, 2001: 86) melihat bahwa pikiran manusia terdiri dari dua bagian, yaitu; pikiran sadar (consious thought) dan pikiran bawah sadar (unconsious). Menurut Freud pikiran sadar adalah kondisi/keadaan dimana manusia sadar atau mengetahui ide-ide yang melandasi aktivitas dan tindakan apa yang sedang dilakukannya. Contoh saat kita berbicara dengan teman kita, menulis cek, bermain atau membaca buku, kita tidak hanya mengunakan pikiran, tetapi juga sadar dan tahu kita sedang mengunakan. Sedangkan pikiran bawah sadar adalah wilayah lain dari pikiran manusia yang sangat dalam, tersembunyi, banyak dan sangat kuat. Meski tidak disadari, pikiran bawah sadar memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Pertama, pikiran bawah sadar adalah sumber dorongan jasmaniah manusia paling dasar, seperti keinginan untuk makan dan aktivitas seksual. Kedua, bergabungnya pikiran bawah sadar dengan keinginan jasmaniah akan menciptakan ikatan luar biasa dari ide, kesan dan emosi-emosi yang dapat dihubungkan dengan segala hal yang dapat dialami, dilakukan atau ingin dilakukan.
Ahli
lain yang meneliti kajian tentang kekuatan alam bawah sadar manusia adalah Carl
Gustav Jung. Pada dasarnya Jung melihat pada jiwa manusia terdiri dari pikiran
sadar dan yang tidak sadar. Dalam pandangan Jung (Morris, 2003: 209) pikiran
adalah fenomena sementara (ephemerical
phenimenon) yang menyempurnakan semua adaptasi dan orientasi
temporal. Sedangkan alam bawah sadar menurut Jung (Van Baal, 1988: 41) terdiri
dari yang tidak disadari secara pribadi dan yang tidak disadari secara
kolektif. Yang tidak disadari secara pribadi mencakup apa yang tersedia
langsung bagi manusia sebagai ingatan, sebagai sesuatu yang sama sekali atau
setengah terlupakan, tertidur dasar ingatannya, sisa dari pengalaman, dan juga
semua isi kesadaran yang terdesak. Yang tidak disadari secara kolektif
merupakan seluruh warisan spiritual evolusi manusia yang dilahirkan kembali
dalam struktur otak setiap individu.
Kekuatan
alam bawah sadar dalam kehidupan manusia merupakan sumber kekuatan bagi manusia
untuk tetap mempertahankan “keberlangsungan hidup” (survival) dengan
menciptakan kebudayaan yang membedakan manusia dalam beradaptasi dan bertahan
hidup di bandingkan dengan mahluk lain. Pendapat kedua ahli tersebut telah
memberikan alasan dan gambaran yang kuat dari mana sumber kekuatan hidup
manusia. Namun dari penjelasan yang telah mereka kemukakan tentang kekuatan
pikiran manusia yang bersumber pada pikiran/alam bawah sadar, secara tidak
langsung memperlihatkan sumber kelemahan bagi manusia dalam menjalani
kehidupannya. Indikasi ini dapat dilihat dari “keterbatasan” manusia dalam
mengunakan dan mengkontrol kekuatan-kekuatan yang terdapat dalam pikiran
terutama yang berada pada alam bawah sadar.
Tylor[3]
memberikan bukti dari “keterbatasan” pikiran manusia, dalam kajiannya tentang
sumber penyebab terjadinya agama dalam kehidupan masyarakat sederhana, yaitu
Animisme. Dalam analisanya tentang rekonstruksi pemikiran awal manusia mengenai
fenomena biologis yang ada dalam kehidupan masyarakat sederhana, yaitu; melalui
peristiwa tidur, mimpi, pingsan dan mati yang mereka alami. Sedangkan Sigmund
Freud (2002)[4]
melalui kajian psikoanalisa menjelaskan tentang represi yang dialami pada manusia yang muncul melalui peristiwa mimpi dan munculnya gejala neuorotis. Freud menyimpulkan penyebab
terjadinya peristiwa tersebut pada pikiran bawah sadar manusia ketika
keinginannya tidak terpenuhi sehingga ia mengalami represi. Represi menurut
Freud (2002: 372) adalah proses mental yang disadari (bagian dari sistim pra
sadar) dibuat menjadi tidak disadari atau dipaksa kembali ke alam bawah sadar.
Gejala ini dapat dilihat melalui perilaku yang muncul tidak irrasional lagi,
seperti gerakan tanpa tujuan (persis orang mabuk), rasa takut yang tak
berdasar, perasaan sayang yang tidak rasional dan lain-lain. Marx dari
tulisannya juga memperlihatkan keterbatasan pikiran manusia melalui
pernyataanya dalam buku German Ideology (1939)[5].
Dalam buku ini Marx menulis bahwa “bukan kesadaran manusia yang menentukan
keberadaannya, namun sebaliknya, keberadaan sosial merekalah yang menentukan
kesadarannya”. Melalui asumsi ini Marx menjelaskan bahwa manusia dalam
menjalani kehidupannya tidak dapat mengunakan kesadaran dan kekuatan pikiran
mereka, karena menurut Marx kekuatan yang berada diluar pikiran manusia,
seperti; ekonomi, sejarah kehidupan, politik dan lain-lain, lebih kuat
mempengaruhi kehidupan mereka. Sehingga dari analisanya itu Marx menyatakan
manusia dalam kehidupannya lebih banyak mengalami kesadaran palsu.
Dampak
yang muncul dari keterbatasan pikiran manusia yang bersumber dari
ketidakmampuan manusia dalam menggunakan kekuatan pikiran bawah sadar,
mengakibatkan manusia dalam kehidupannya mengandung konflik yang tersembunyi.
Freud telah memberikan gambaran akibat dari adanya konflik yang tersembuyi
dalam kehidupan manusia, yaitu dengan munculnya keadaan represi yang berawal
dari kebutuhan dan keinginan yang tidak terpenuhi[6].
Menurut Freud, keadaan ini akan memberikan pengaruh terhadap pembentukkan kepribadian manusia.
Berbicara mengenai konsep kepribadian, belum ada suatu konsep baku yang
dapat digunakan sebagai acuan/pedoman dalam suatu kajian, dari perumusan konsep
kepribadian yang telah dikemukakan oleh beberapa ahli, dalam penelitian ini mengunakan
konsep kepribadian individual Freud. Dalam pandangan Freud (Fromm, 2002: 129)
kepribadian manusia terdiri dari tiga bagian yaitu; Id, Ego dan Super-ego.
Id merupakan presentasi dari seluruh keinginan instingtual, dan karena
sebagian besar keinginan-keinginan ini tidak diizinkan sampai pada tingkat
kesadaran (pikiran bawah sadar). Super-ego
merupakan presentasi dari pengaruh-pengaruh yang sejak lahir telah dimasukkan
ke dalam kepribadian seorang individu dari dunia luar (sistem sosial). Super-ego adalah prilaku dan harapan
yang diberikan masyarakat, yang dibentuk oleh institusi yang ada dalam
kehidupan, seperti: keluarga, suku, masyarakat dan lain-lain. Ego merupakan presentasi dari
kepribadian manusia yang terorganisasi sejauh mampu mengamati realitas dan
melaksanakan fungsi apresiasi realistik, setidaknya menyangkut masalah
keberlangsungan hidup (kebudayaan). Ego
bisa dikatakan sebagai pusat penentu kepribadian manusia. Tugas utamanya adalah
menampilkan keseimbangan yang berlangsung secara terus menerus dalam hidup
manusia (penyeimbang antara kepribadian Id
dan Super-ego).
Dari gambaran ini kita dapat mengetahui
unsur-unsur yang menjadi penyebab terjadinya konflik pada diri manusia dan
pengaruhnya terhadap kepribadian yang berawal dari pertentangan Id (pikiran, terutama pikiran bawah
sadar) dengan Super-ego (sistim
sosial). Konflik ini dipicu keinginan atau kebutuhan hidup yang ingin dipenuhi
tapi bertentangan dengan tatanan kehidupan yang ada. Misal seorang wanita,
dalam pikirannya ia memiliki kemampuan untuk berperan di wilayah publik,
seperti berkerja di kantor sama dengan peran yang dilakukan laki-laki
(suaminya). Namun karena kesepakatan sosial budaya yang berlaku dalam kehidupan
kelompok masyarakatnya, wanita tersebut harus memendam keinginannya itu dan
terpaksa hanya dapat berperan dalam kehidupan rumah tangganya. Kondisi ini
tanpa disadari wanita menimbulkan perasaan tertekan bagi dirinya karena
keinginannya tak dapat ia wujudkan, sehingga tanpa disadarinya akan berpengaruh
terhadap prilaku dan tindakannya.
Semenjak awal perkembangan kehidupan
manusia. untuk mengatasi hal ini, manusia sebagai binatang pencipta simbol memanfaatkan kelebihannya ini sebagai cara
untuk keluar dari konflik yang selalu mewarnai perjalanan kehidupannya.
Biasanya keinginan yang tidak bisa terpenuhi dalam kehidupan sehari-hari oleh
manusia. Semula keinginan tersebut berada pada pikiran sadarnya, namun karena
tidak bisa diwujudkan keinginan tersebut akan ditekan pada pikiran bawah sadar
yang akan menimbulkan keadaan represi bagi mereka. Untuk memenuhi keinginan
yang tidak bisa terpenuhi tersebut, mereka wujudkan dalam pikiran bawah sadar
sehingga ada kalanya keinginan tersebut muncul dalam peristiwa mimpi. Dalam
kehidupan nyata manusia mengekspresikan konflik-konflik yang ada dalam
kehidupan mereka itu dengan mengunakan kemampuan simboliknya sebagai alat
terapi (Morris, 2003: 210-212).
Dari uraian sebelumya, secara tersirat
alat terapi tersebut telah disebutkan. Misalnya penelitian Tylor yang mengkaji
keterbatasan pikiran manusia dalam menghadapi peristiwa tidur, pingsan dan
mati. Manusia primitif memecahkannya melalui kepercayaan agama (animisme).
Simbol-simbol lain yang digunakan sebagai alat terapi bagi manusia,
mengekspresikanya melalui mitos, karya seni, dan bahasa. Bahkan Jung (Morris, 2003: 211) memandang
“alam bawah sadar kolektif” (mitos dan agama) mempunyai fungsi penting bagi
kepribadian manusia, tidak hanya memberi makna terhadap eksistensi yang
dikenal, tapi juga mempunyai peran terapi.
Seirama dengan pandangan Freud dan Jung
mengenai bagaimana pikiran bawah sadar dan dampak yang ditimbulkan (hubungan)
secara timbal balik dengan sistim sosial dalam kehidupan manusia, dan dampak
peristiwa mimpi akibat represi. Dalam pandangan Levi-Strauss (Ahimsa, 2001: 79)
terekspresikan pada cerita berbentuk mitos yang merupakan perwujudan dari unconscious wishes,
keinginan-keinginan yang tidak disadari. Berbicara tentang cerita mitos, dengan
asumsi pemikiran di atas setiap masyarakat memilikinya. Hal ini mengindikasikan
mitos memiliki peran penting dalam kehidupan manusia. Mitos yang merupakan
gejala kebudayaan manusia, dengan sendirinya dapat dijadikan sebagai alternatif
untuk melihat gambaran keadaan kehidupan masyarakat yang menyakini. Demikian
halnya dengan kepribadian yang dimiliki masyarakat tersebut dapat ditelaah
melalui mitos yang ada karena antara mitos dan kepribadian masyarakat sama-sama
berawal dari pikiran bawah sadar manusia.
Keterkaitan mitos dan kepribadian dapat
kita lihat dari keberadaan mitos itu sendiri dalam kehidupan manusia. Menurut
Eliade (Minsarwati, 2002: 22) kata mitos berasal dari bahasa Inggris “Myth”
yang berarti dongeng atau cerita yang dibuat-buat. Dalam bahasa Yunani disebut
dengan “Muthos” yang berarti cerita mengenai Tuhan dan Suprahuman
Being, Dewa-dewa. Menurut
Van Baal (1987: 44) mengemukakan mitos sebagai cerita dalam kerangka sistim
suatu religi di masa lalu atau di masa kini telah atau sedang berlaku sebagai
kebenaran agama.
Dalam kamus antropologi mitos diartikan
suatu seruan terhadap apa yang mereka alami untuk membuktikan kebenaran
kepercayaan mereka terhadap nilai-nilai, tindakan-tindakan yang merupakan
konsepsi rakyat primitif tentang sesuatu yang mereka anggap suci dan
hubungannya dengan perbuatan-perbuatan manusia (Suyono, 1985: 260). Sementara
itu Ahimsa Putra (2001: 187) istilah mitos, mite, biasanya mengingatkan kita
pada suatu cerita yang aneh, janggal atau lucu, dan umumnya sulit untuk
dimengerti maknanya, tidak dapat diterima kebenarannya, atau tidak perlu
ditanggapi secara serius isinya. Sedangkan dalam konteks strukturalisme
Levi-Strauss mitos adalah cerita yang merupakan sebuah kisah atau cerita yang
lahir dari imajinasi manusia, dari khayalan manusia walaupun unsur-unsur
khayalan tersebut berasal dari apa yang ada dalam kehidupan manusia sehari-hari
(Ahimsa, 2001: 77).
Dari uraian beberapa konsep tentang mitos
di atas, dapat disimpulkan bahwa mitos adalah suatu cerita (tradisi lisan) yang
mengisahkan suatu peristiwa yang dapat diterima pikiran atau tidak, cerita
(tradisi lisan) itu muncul dari hasil imajinasi pikiran manusia yang
berinteraksi dengan nilai-nilai, tindakan-tindakan yang dimiliki dan lingkungan
alam tempat berlangsungnya kehidupan masyarakat pemilik cerita. Perumusan ini
didasarkan pada asumsi bahwa mitos sebagai
tradisi lisan merupakan sebuah fenomena budaya yang paling tepat untuk
diteliti bilamana kita ingin mengetahui kekangan-kekangan yang ada dalam gerak
dan dinamika pikiran manusia, demikian juga dengan kepribadian yang
dimilikinya. Berangkat dari hal tersebut, tentunya cerita lisan (seperti mitos)
dan kepribadian yang ada dalam masyarakat berkembang dari nilai-nilai rasional
dan irrasional pikiran manusia sehingga terbentuk simbol-simbol yang menjadi
pedoman bagi masyarakat dalam berprilaku berdasarkan tatanan kehidupannya.
Nilai-nilai yang telah menjadi pedoman dalam kehidupan masyarakat akhirnya
bermuara pada kebudayaan. Konteks kebudayaan
yang dimaksudkan adalah konsep
kebudayaan yang dikemukakan
Geertz (1992, 3):
“Menurutnya kebudayaan adalah pola-pola makna yang
diwariskan secara historis yang terwujud dalam simbol-simbol....... yang
digunakan manusia untuk berkomunikasi, melestarikan dan mengembangkan
pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikapnya terhadap kehidupan”.
Berdasarkan definisi Geertz, cerita lisan
dan kepribadian yang dimiliki masyarakat merupakan wujud dari hasil kebudayaan.
Karena cerita lisan dan kepribadian masyarakat hasil simbolisasi dari kekuatan
pikiran manusia setelah berinteraksi dengan lingkungannya (sistim sosial).
Kedua simbol ini mengandung makna
tersendiri bagi masyarakat yang memilikinya. Meskipun cerita lisan (seperti
mitos) hanya sebuah cerita yang dianggap sekedar penghibur di waktu senggang.
Makna yang dimaksudkan pada cerita lisan
dan kepribadian adalah arti dibalik sesuatu (makna yang tersembunyi).
Levi-Strauss (Ahimsa, 2001: 140) sendiri mengungkapkan bahwa dalam mitos
terdapat makna-makna, di mana makna-makna tersebut sering kali merupakan suatu
ungkapan simbolis dari konflik-konflik bathiniah yang ada dalam kehidupan
masyarakat, atau merupakan suatu sarana untuk mengelakkan , memindahkan dan
mengatasi kontradiksi-kontradiksi empiris yang tak terpecahkan. Kemudian
Strauss (Paz, 1997: XX) menegaskan lagi bahwa makna itu sendiri bukanlah
sesuatu yang mudah untuk dimaknai atau diberi arti. Dikaitkan dengan pendapat
Geertz, kebudayaan sebagai pola-pola makna yang terwujud dalam simbol, maka
pengertian makna bagi Levi-Strauss (Paz, 1997: XXi) sering diartikan sebagai
fungsi dalam pengertian logika.
Dalam pengungkapan makna mitos yang
dilakukan Levi – Strauss dengan analisis Strukturalisme. Langkah yang paling
mendasar dalam pengungkapan makna yang ingin diungkap adalah dengan mancari dan
menemukan mitema/ceriteme yang terdapat dalam cerita. Miteme adalah
unsur terkecil dari bahasa mitos. Miteme
menurut Levi-Strauss (Ahimsa, 2001: 95) adalah unsur-unsur dalam konstruksi
wacana mistis, yang juga merupakan satuan-satuan yang bersifat bertentangan (oppositional)
relatif dan negatif (purely differential and contentless sign).
Miteme-miteme
yang ditemukan disusun
secara sinkronis dan diakronis, paradigmatis dan sintagmatis. Penyusunan dengan
cara ini bertujuan untuk melihat dan menemukan relasi yang muncul dari miteme-miteme
yang ada. Unit-unit yang harus dianalisis lebih lanjut adalah
kumpulan-kumpulan relasi ini, karena relasi merupakan gambaran yang menunjukkan
suatu subjek yang menunjukkan suatu fungsi tertentu (Ahimsa, 2001 : 96)
Menurut Leach (Ahimsa, 2001:111)
relasi-relasi dalam mitos ditampilkan secara langsung ataupun secara tersirat
dalam rupa: 1) relasi antar manusia dan binatang, mahkluk supra natural yang
beraneka ragam, 2) relasi antara kategori makanan dan cara menyiapkan, 3)
relasi antara kategori suara dengan kesenyapan, 4) relasi antara bau dan rasa,
dan lain-lain.
Penyusunan miteme secara
sintagmatis adalah cara pandang bahwa bahasa mempunyai arti apabila dikaitkan
dengan unsur yang mendahului atau yang mengakhirinya (Ahimsa, 2001: 47). Jadi makna dari bahasa itu tergantung dari
relasinya dengan unsur yang ada dalam bahasa tersebut. Untuk memahami masalah yang berkaitan dengan sosial
budaya, cara pandang sintagmatis berubah menjadi diakronis. Dengan kata lain
masalah sosial yang muncul ditengah
masyarakat itu terjadi karena sebab akibat.
Sedangkan penyusunan miteme secara
paradigmatis adalah cara pandang bahwa bahasa mempunyai kaitan (relasi) dengan
elemen-elemen lain diluar bahasa
(Ahimsa, 2001: 50). Hal ini mengasumsikan bahwa bahasa tidak mesti
tergantung dengan elemen yang ada pada tata bahasa sendiri. Dalam masalah
sosial paradigmatis berubah menjadi sinkronis (vertikal). Artinya masalah yang
timbul dalam masyarakat akan dipahami setiap orang atau kelompok sesuai dengan
cara pemahaman sosial yang berkembang dalam masyarakat/emik.
Dalam proses penyusunan miteme di atas, untuk dapat mengungkap makna yang
tersembunyi dalam cerita. Pengunaan prinsip oposisi binar dari relasi-relasi
yang muncul antar miteme/ceriteme yang ada, sangat melandasi dalam
mengungkap makna dari unit-unit relasi yang ditemukan. Oposisi binar adalah
struktur dasar makna yang merupakan salah satu kerja otak yang paling mendasar,
ini adalah prinsip penstrukturan kebudayaan yang dalam dan paling awal
(Jenskins, 2004: 36).
Oposisi binar, oposisi berpasangan (Binary
opposition) memliki dua pengertian, yaitu oposisi binar bersifat ekslusif,
seperti misalnya pada ‘p’ dan (‘-p’) (bukan ‘p’). Oposisi semacam ini ada
misalnya pada kategori, seperti menikah dan tidak menikah. Pengertian yang
kedua oposisi binar yang tidak ekslusif yang kita temukan dalam berbagai macam
kebudayaan, seperti misalnya oposisi : air – api; gagak – elang ; siang – malam
; matahari – rembulan ; dan sebagainya. Menurut Lane (Ahimsa, 2001 :70)
logikanya oposisi ini memang tidak ekslusif, namun dalam kontek-kontek yang
khusus, mereka yang mengunakannya menganggap ekslusif.
Dalam analisis strukturalisme, oposisi
binar tampak dalam bentuk sejumlah
mekanisme mental, seperti pengulangan (repetisi) dan pelipatgandaan
(reduplikasi), pertentangan (oposisi), pembalikan (inversi), simetri, paralelisme
dan sebagainya. Terjadinya penyusunan tatanan sistim jaringan relasi binar –
polar adalah lewat kegiatan transformasi. Melalui tarnsformasi antar
unsur-unsur dan struktur yang terdapat dalam relasi – relasi antar manusia
dalam kerangka yang lebih bervariasi yang ada dalam cerita (mitos), seperti
misalnya: status sosial, persahabatan dan perselisihan, boleh tidaknya
behubungan sek dan saling ketergantungan. Tarnsformasi yang dimaksudkan dalam
penelitian ini bukanlah perubahan (change), tapi konsep transfomasi
menurut Ahimsa Putra, yaitu: transformasi yang diterjemahkan sebagai alih rupa.
Artinya dalam transformasi yang berlangsung perubahan pada tataran permukaan,
sedang pada tataran yang lebih dalam lagi perubahan tersebut tidak terjadi, hal
ini bisa berlaku sebaliknya namun inti pesan yang disampaikan tidak berubah
(Ahimsa, 2001: 62)
Selain melalui kegiatan transformasi,
untuk mengetahui makna dan rasionalitas dasar yang ada dalam sebuah cerita
(mitos). Menurut Damis (1999: 94) dapat lebih mudah dipahami apabila kebudayaan
dimana tempat mitos itu hidup juga dipahami dengan baik. Sebagai suatu fenomena
yang bermakna, suatu dongeng juga dapat dilihat sebagai suatu fenomena
kebahasaan, yang baru dapat dipahami jika kita telah mengetahui struktur dan
makna berbagai elemen yang ada di dalamnya.
Menurut Levi – Strauss (Ahimsa, 2001:
139-140) hubungan makna yang terungkap dari cerita dengan realitas kehidupan
masyarakat pemilik cerita, bersifat dialektic, dialektis. Artinya apa
yang terdapat dalam mitos bisa merupakan kebalikkan dari apa yang ada dalam
kenyataan sehari-hari. Jadi makna yang terungkap dari cerita (mitos) sebenarnya
tidak berupaya untuk melukiskan atau menampilkan apa yang ada tetapi untuk
membenarkan (justify) kekurangan-kekurangan yang ada dalam kenyataan.
Berdasarkan hal ini, Strauss menyimpulkan bahwa cerita (yang berbentuk
pemitosan dan mitologisasi) adalah sebuah pengakuan bahwa setelah ditelaah
ternyata fakta-fakta sosial mengandung suatu kontradiksi yang tak terpecahkan,
tak terselesaikan, tak terpahami dan karena itu pula orang lebih suka
melupakannya melalui cerita (mitos) mereka. Pada fakta inilah Levi – Strauss
mendasarkan upayanya untuk memperlihatkan pada kita bahwa melalui cerita
(mitos) kita dapat mengetahui kategori-kategori dalam nalar manusia yang berada
dalam tataran nir sadar.
[1] Bagan skema di atas, khususnya pendapat
Geertz tentang kebudayaan, dikutip dari tulisan Zainal Arifin tentang Konsep
Kebudayaan yang dimuat dalam Jurnal Antropologi tahun II. No:3. Padang
Laboratorium Mentawai FISIP-UNAND.
[2] Menurut Turner, bahwa ciri pokok liminalitas
adalah ambiguity dan paradoks. Ini bisa berarti “neither
living nor dead from one aspect, and both living and dead from another”.
Lihat dan baca Ahimsa (2001: 300).
[3]
Lihat dan baca tulisan Daniel L Pals dalam buku Dekonstrksi: Kebenaran Kritik
Tujuh Teori Agama. Yogyakarta, Ircisod (2003, 40 – 45).
[4]Lihat dan baca buku Psikoanalisis Sigmund Freud.
Diterjemahkan oleh Ira PuspitoriniYogyakarta.Ikon.
[5] Lihat dan baca tulisan Erich Fromm yang
berjudul Konsep Manusia Menurut Marx (2001; 26) dan Beyond The Chains of
Illusion-pertemuan saya dengan Marx dan Freud (2002).
[6] Freud lebih lanjut menjelaskan tentang
konflik yang tersembunyi dalam kehidupan manusia. Dalam kajiannya mengenai
kisah Oedipus Complex. Lihat dan baca Psikoanalisis Sigmund Freud (2002:362).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar