Rabu, 19 September 2012

Kaba (Cerita) Bujang Jibun.

Pada zaman dahulu, pada masa awal perkembangan terbentuknya kehidupan bernagari di daerah Surantih. Hiduplah sebuah keluarga di tengah-tengah perkembangan kehidupan masyarakat yang baru bermula. Keluarga itu adalah keluarga Tuanku Garak Alam. Tuanku memiliki seorang istri yang bernama Mayang Taurai. Dalam perjalanan kehidupan keluarga mereka dikarunia Tuhan tiga orang anak. Anak mereka yang paling sulung bernama Bujang Juaro, Bujang Juaro memiliki seorang adik laki-laki bernama Bujang Jibun dan adik perempuan yang paling kecil bernama Puti Bungsu (1).
            Bujang Juaro anak paling tua di keluarga Tuanku Garak Alam adalah seorang anak muda yang dalam kehidupan sehari-harinya gemar minum tuak, bermain dadu, dan menyabung Ayam. Bujang Juaro sendiri memiliki sebuah gelanggang permainan sabung Ayam yang merupakan tempat dia mengadu Ayamnya setiap hari. Gelanggang sabung Ayam milik Bujang Juaro ini berada di daerah Bukik Laban yang terletak antara daerah Kayu Aro dengan Koto Tinggi, Koto Katenggian (2). 
Daerah Koto Tinggi terdiri dari tiga perkampungan, yaitu; Koto Katenggian, Sungai Kumayang, dan Koto Rana[h]. Koto Tinggi tampek paninjauan, daerah ini merupakan sebuah daerah yang berada di dataran tinggi yang landai sehingga dari tempat ini dapat melihat Sungai Kumayang dan Koto Rana[h].  Sungai Kumayang dianggap sebagai biliak dalam, anggapan ini muncul karena daerah Sungai Kumayang berada di sebuah lembah yang tersembunyi dengan dikelilingi perbukitan sehingga menyerupai sebuah biliak (ruangan) yang tersembunyi. Sedangkan Koto Rana[h] dianggap sebagai janjang ka naiak, hal ini dikarenakan Koto Rana[h] adalah daerah yang harus dilewati ketika harus mendaki menuju daerah Koto Katenggian (3).
Beralih kepada adik Bujang Juaro, anak kedua dari Tuanku Garak Alam yang bernama Bujang Jibun. Berbicara tentang diri Bujang Jibun, tak jauh berbeda dengan kakak kandungnya Bujang Juaro. Dalam kehidupan keseharian Bujang Jibun, perkerjaannya hanyalah minum tuak, suka main dadu dan menyabung Ayam. Persis sama dengan kelakuan kakaknya, Bujang Jibun juga memiliki gelanggang sendiri tempat dia bermain sabung Ayam. Setiap harinya Bujang Jibun berjalan menuju gelanggang sabung Ayamnya, dari rumahnya yang berada di Koto Tinggi, berjalanlah ia turun menuju ke Kayu Aro, kemudian berjalan menyusuri jalan yang berada disepanjang kaki bukit menuju daerah Sualang (sekarang Sialang). Didekat daerah Sualang ini terdapat sebuah bukit yang bernama Bukit Batu Balai. Di bukit inilah Bujang Jibun mendirikan gelanggang sabung Ayamnya (4).
Pada suatu ketika tersiarlah kabar berita di Kampung Kayu Aro bahwa ada seorang pemuda yang bernama Sutan Pamenan datang dari daerah Pariaman. Maksud dan tujuan kedatangannya adalah untuk pergi ke gelanggang sabung Ayam milik Bujang Juaro guna bermain sabung Ayam, mengadu Ayam jagoannya yang bernama Ayam Sago Nani. Setelah bertanya-tanya pada penduduk yang ditemuinya, akhirnya Sutan Pamenan sampai di gelanggang sabung Ayam Bujang Juaro. Saat dia sampai, ia melihat suasana gelanggang yang sedang disesaki oleh orang-orang yang menyaksikan sabung Ayam. Sebagian dari orang-orang tersebut, meski tidak memiliki Ayam aduan untuk diadu, ada yang ikut menumpin taruhannya pada Ayam yang bertarung. Ditengah hiruk pikuk suara orang ramai yang berteriak menyemangati Ayam jagoannya. Bujang Juaro melihat ke arah seorang pemuda yang belum pernah ia lihat sebelumnya datang bermain di gelanggangnya (5).
Bujang Juaro kemudian menghampiri pemuda tersebut dan berkata, “siapa tuan yang baru datang ini, angin mana dan hujan mana yang membawa tuan hingga sampai di gelanggang ini. Dilihat dari tampang dan cara berpakaian tuan, tuan bukanlah orang yang berasal  dari daerah sini”. Lalu Sutan Pamenan menimpali perkataan Bujang Juaro, “saya bernama Sutan Pamenan, datang dari Pariaman, maksud kedatangan saya ke gelanggang ini tak lain adalah untuk mengadu Ayam saya ini dengan Ayam jagoan tuan yang sering menang di gelanggang ini.  Kalaulah demikian, Sutan tidaklah salah alamat datang kemari”, kata Bujang juaro. “Sutan datang ke tempat yang benar, jika Sutan berkenan, dari pada kita terus berbasa-basi tak tentu arah. Karena hari semakin lama semakin beranjak petang, lebih baik kita langsung turun ke gelanggang membulang taji Ayam kita masing-masing. Sutan Pamenan dengan wajah gembira menerima ajakan Bujang Juaro untuk turun bermain disasaran sabung Ayam. Setelah menetapkan dan menyepakati taruhan yang akan ditumpin dalam pertandingan tersebut. Mereka menyuruh juaro gelanggang yang menjadi pengadil dalam pertandingan sabung Ayam tersebut untuk memulai permainan. Orang-orang yang berada di gelanggang sabung Ayam Bujang Juaro larut bersorak riang menyemangati kibasan-kibasan taji Ayam aduan yang sedang bertarung. Dalam pertandingan itu, akhirnya Ayam milik Bujang Juaro kalah dari Ayam Sago Nani milik Sutan Pamenan, taruhan yang telah ditumpin diambil dan dibawa oleh Sutan Pamenan (6).
Selesai menyabung Ayam dengan Bujang Juaro, Sutan Pamenan berjalan menuju daerah Sungai Kumayang dan tinggal beberapa hari di kampung tersebut. Pada saat Sutan Pamenan tinggal di daerah itu, dia bertemu dan berkenalan dengan Puti Reno Kapeh. Puti Reno Kapeh merupakan anak dari Rajo Nan Sati, ibunya bernama Mayang Sani. Pada masa mereka berkenalan tersebut Reno Kapeh sudah menjadi tunangan dari Bujang Jibun. Pada suatu hari Sutan Pamenan datang menemui Reno Kapeh ke rumahnya. Dalam pertemuan itu Puti Reno Kapeh berpesan pada Sutan Pamenan, “kalau seandainya tuan sampai ke gelanggang sabung Ayam Bujang Jibun yang berada di Bukit Batu Balai, janganlah tuan pergi juga ke sana untuk menyabung Ayam”. Dicampuri rasa penasaran Sutan Pamenan memotong perkataan Puti Reno Kapeh dan berkata, “kenapa Puti melarang saya datang ke gelanggang Bujang Jibun untuk menyabung Ayam, apakah gerangan yang membuat Puti khawatir dan melarang saya kesana untuk bermain” (7).
 Lalu dengan perasaan cemas Puti Reno Kapeh mengutarakan alasan ke khawatirannya dan melarang Sutan Pamenan ke gelanggang Bujang Jibun, “bagi Bujang Jibun dalam menyabung Ayam, jika kalah dalam penyabungan dia tidak akan membayar taruhan yang telah ditumpin tapi jika dia berada dipihak yang menang, dia akan mengambil seluruh taruhan yang ada. Dari pada tuan pergi menyabung Ayam dengan Bujang Jibun, alangkah baiknya tuan mengurungkan niat tuan tersebut. Lebih baik tuan kembali pulang ke kampung asal tuan”. Mendengar perkataan Reno Kapeh, “Dik kandung Puti Reno Kapeh, adapun niat dalam hati, kalaulah tidak bertemu dengan yang dicari pantang untuk kembali pulang, jika kembali pulang ibaratnya “dadak mananti ditampuruang” jawab Sutan Pamenan. Dengan nada perkataan berat hati Puti Reno Kapeh berkata,

“Saya patah tak akan terpatah
 Ibarat mematah batang Surantih
 Dipatah sedang panas hari
 Saya cegah tidak akan tercegah
 Ibarat mencegah air dari hilir
 Saya lepas tuan dengan iba hati”.

 Lalu Sutan Pamenan Menjawab,

 “Pulau talam pulau terika,
   ketiga bungkuak taji,
   sambut salam puti ku tinggal,
   saya berangkat sekarang ini”.

Dengan linangan  air mata Puti Reno Kapeh berkata,

 “Ke kanan jalan ke Sungai Pinang,
   ke kiri jalan ke Malaka.
   Dengan tangan kanan saya sambut kasih sayang
   dengan tangan kiri menghapus air mata.

Setelah mereka berjabat tangan, turunlah Sutan Pamenan dari rumah gadang Puti Reno Kapeh. Ketika sudah berada di halaman Sutan Pamenan melihat ke arah Reno Kapeh yang berdiri di pintu rumah gadang melepas kepergian Sutan Pamenan (8).
 Beberapa saat kemudian Sutan Pamenan berpaling dan melangkahkan kakinya dari halaman rumah berjalan menuju ke arah hilir. Sekian lama jauh berjalan sampailah Sutan Pamenan di Koto Rana[h] dan singgah berhenti untuk beristirahat. Di bawah pohon kayu yang rindang, di Puncak Bukit Aua, sembari melapaskan litaknya, pikiran Sutan Pamenan menerawang jauh. Dilepaskannya pandangan ke arah lautan, terlihatlah daerah Bukit Batu Balai tempat gelanggang Bujang Jibun. Seketika teringatlah kembali olehnya perkataan Reno Kapeh. Tiba-tiba dia terkejut, dadanya berdetak kencang, seluruh sendi tubuhnya dirasakan bergemetar. Dalam kondisi yang demikian, hati kecilnya berkata, “niat dalam hati terbayang-bayang dimata teringat-ingat dihati, biar ada aral melintang namun maksud dan tujuan haruslah tetap disampaikan. Biarlah hilang yang akan berkata, meski hilang nyawa dari badan namun kehendak hati harus dilaksanakan” (9).
Setelah litak yang mengerubuti tubuhnya dirasakan telah hilang, sutan pamenan mengayunkan langkah kakinya menuruni Bukit Aua hingga sampailah dia di Kayu Gadang. Lalu menyeberang sungai di lambung bukit, berjalan di pematang panjang ke arah hilirnya, akhirnya sampailah Sutan Pamenan di Sualang. Dari kejauhan telinganya  mendengar sayub-sayub orang bersorak-sorai dari arah Bukit Batu Balai. Semakin lama suara itu semakin jelas terdengar, diarahkanlah langkah kakinya menuju  ke gelanggang sabung Ayam Bujang Jibun yang sedang ramai saat itu. Berjalanlah dia berlambat-lambat mendaki Bukit Batu Balai sambil mengapit Ayamnya untuk memenuhi niat hatinya menyabung Ayam dengan Bujang Jibun. Setelah menempuh jalan setapak Bukit Batu Balai, sampailah Sutan Pamenan di tempat gelanggang sabung Ayam Bujang jibun. Di tengah ramainya gelanggang terlihatlah dirinya oleh Bujang Jibun. Seketika dirinya merasa, darahnya berdesir, detak jantungnya berdegub kencang dan gemetar segala sendi tubuhnya. Teringat kembali olehnya perkataan Reno Kapeh, di dalam hati Sutan Pamenan berkata, “benar adanya kata Reno Kapeh, tidak salah Puti berkata demikian, sesuai perkataan dengan kenyataan”. Firasat hati Sutan Pamenan saat itu merasa akan berpisah nyawa dengan badan. Setelah ini ia merasa tidak akan pernah bertemu lagi dengan Puti Reno Kapeh, muncullah penyesalan di dalam dirinya karena amanat Reno Kapeh telah ia mungkiri (10).

Gambar 
Lokasi Gelanggang Sabung Ayam Bujang Jibun di Puncak Bukit Batu Balai

Dikala jiwanya sedang bergolak, berkatalah Bujang Jibun sambil memanggil ke arah Sutan Pamenan. “siapa tuan yang baru datang, dipanggil gelar tidak tahu dipanggil nama tidak jelas. Siapakah nama tuan sesungguhnya”, Tanya Bujang jibun. “saya bernama Sutan Pamenan datang dari Pariaman, sudahkah senang hati tuan” jawab Sutan Pamenan. Lalu Bujang Jibun berkata, “dikala makan rendang lekat di daun dijilati, dikala tuan datang apa maksud dalam hati”.  Sutan Pamenan kemudian menjawab pertanyaan Bujang Jibun, “kalaulah itu yang tuan tanyakan, karena tuan yang punya gelanggang, ada rasa niat dalam hati hendak menyabung saya di gelanggang ini. Tanda saya akan menyabung dengan tuan, inilah taruhan yang akan saya tumpin untuk menyabung Ayam dengan tuan”. Lalu Sutan Pamenan meletakkan taruhannya berupa emas tiga batang dihadapan Bujang Jibun. Bujang Jibun melihat Sutan Pamenan meletakkan taruhan terkesima dengan apa yang ingin dipertaruhkannya (11).
Saat itu termenunglah Bujang Jibun dan berfikir sambil melihat ke arah taruhan orang yang datang, dengan apa taruhan itu akan ditumpin kata Bujang Jibun dalam hati kecilnya. Tak lama kemudian berkatalah Bujang Jibun, “kalau begitu bersabarlah tuan menunggu, saya permisi mengambil taruh yang akan ditumpin”, lalu berjalanlah Bujang Jibun. Tidak berapa lama kemudian Bujang Jibun datang kembali ke gelanggang dengan membawa taruhannya. Dihadapan Sutan Pamenan, Bujang Jibun berkata, “kalaulah tak sampai taruh saya untuk menumpin taruhan sutan, dengan janji kita buat kesepakatan. Kalau seandainya dalam pertandingan nanti yang menang adalah Ayam saya, taruhan yang ada saya yang akan mengambil. Kalau sebaliknya ternyata saya kalah, kalau tak cukup taruhan saya ini, tambahannya ialah tunangan saya yang bernama  Puti Reno Kapeh, apakah senang hati sutan mendengarnya”. Mendengar perkataan Bujang Jibun lalu Sutan Pamenan berucap, “kalau demikian kata tuan, sudah senang rasanya dalam hati sejuk rasanya dalam pikiran. Apakah nanti tidak ada penyesalan dalam diri tuan dikemudiannya ?”.  Dengan melihatkan mimik wajah percaya diri Bujang Jibun menyakinkan Sutan Pamenan dan mengajaknya untuk memulai pertandingan. Dalam pertandingan itu, Sutan Pamenan telah mempersiapkan Ayamnya yang bernama Sago Nani. Sementara itu Bujang Jibun juga bersiap-siap untuk mengadu Ayamnya yang bernama Kinantan (12).
Setelah juaro lapangan mempersiapkan segala sesuatunya. Maka kedua orang itu melepas Ayam aduannya masing-masing. Dalam pertarungan itu kedua Ayam saling mengincar lawannya masing-masing, adakalanya kedua Ayam itu sesekali melambung ke atas, dua kali melambung turun. Tapi malang bagi Ayam Kinantan milik Bujang Jibun berpisah nyawa dari badannya, mengelapar-lepar di gelanggang, matilah Ayam Kinantan suci. Seketika mengalirlah keringat dingin sebesar biji jagung di kening Bujang Jibun. Sementara itu orang ramai hiruk pikuk, bersorak sorai melihat kemenangan Ayam Sago Nani milik Sutan Pamenan, apalagi mereka yang ikut menumpin taruhan pada Ayam Sago Nani yang menang dalam pertandingan itu. Pada diri Bujang Jibun, malu tercoreng pada kening, karena kalah oleh Ayam Sutan Pamenan dan taruhan diambil Sutan Pamenan sambil berkata pada Bujang Jibun. “Hei….  tuan, si Bujang Jibun, manakah dia Puti Reno Kapeh? Bawalah dia sekarang juga sebagai ganti taruhan badan tuan. Lalu termenunglah Bujang Jibun, kemudian berkata, “tentang Puti Reno Kapeh, dia sekarang berada di Sungai Kumayang Biliak Dalam. Jemputlah dia oleh sutan ke sana, ke kampung halamannya. Sudahkah senang hati sutan”, Bujang Jibun berkata (13).

Gambar 
Salah Satu Peninggalan Bujang Jibun Berupa Sumur Kecil
Masyarakat Menyakini Air Sumur Ini Digunakan Untuk Minum dan Memandikan Ayam

Setelah mendengar kata Bujang Jibun, Sutan Pamenan mohon diri pergi dari gelanggang tersebut lalu berjalan menuruni Bukit Batu Balai melalui jalan setapak yang sempit menuju Sualang. Dalam perjalanan menuju sualang tersebut, tanpa diduga dan disangka-sangka sebelumnya oleh Sutan Pamenan perjalanannya dicegat oleh Bujang Jibun. Melihat Bujang Jibun yang berdiri bercakap pinggang di tengah jalan, hati kecil Sutan Pamenan berkata pada dirinya bahwa dirinya akan binasa. Dalam hatinya terlintas kata-kata, “Kuda melompati batu balah di belakang lurah berpandakian, tidak ku dua kehendak Allah kalaulah memang suratan dengan janjian”. Ketika Sutan Pamenan sampai dihadapan Bujang Jibun, berkatalah Bujang Jibun pada Sutan Pamenan. “kalau tadi Ayam kita yang menyabung, saya telah kalah, sekarang kita pula yang menyabung nyawa”. Kemudian terjadilah perkelahian antara Bujang Jibun dengan Sutan Pamenan. Pada diri Bujang Jibun, sebagai seorang parewa memiliki berbagai kesaktian, tahan gurindam garagaji, tidak termakan malelo, tidak termakan bisa kawi dia orang kuat kaba semenjak dari niniaknya. Sementara itu pada diri Sutan Pamenan, melihat Ayamnya kuyua, saat itu berdesirlah darah didadanya, lupalah Sutan Pamenan akan akal pikirannya, hilang ilmu yang ada pada dirinya tidak sadar akan dirinya (14).
Maka bertarunglah Bujang Jibun dengan Sutan Pamenan, pada awalnya perkelahian itu berjalan seimbang. Lama kelamaan terdesaklah Bujang Jibun oleh Sutan Pamenan hingga pada suatu ketika Bujang Jibun terjatuh akbat pukulan Sutan Pamenan. Pada saat itu manyarulah Bujang Jibun, “berkat pada tampat-tampat yang keramat, berkat Langgai, berkat Malelo dan berkat tempat keramat lainnya. Meminta Bujang Jibun kali ini, kalau sempat kalah Bujang Jibun sekarang bak balam rabah , bak orang datang Nagari Surantih”. Seketika itu, Bujang Jibun seakan mendapat kekuatan baru dan berdiri kembali melanjutkan pertarungannya dengan Sutan Pamenan. Dalam perkelahian itu, pedang Bujang Jibun telah berhasil melukai tubuh Sutan Pamenan. Pada satu kesempatan Bujang Jibun berhasil menyabetkan pedangnya ke arah leher Sutan Pamenan hingga bercerailah kepala dengan badan Sutan Pamenan. Ajalullah sudah bilangan sampai, meninggallah Sutan Pamenan di jalan yang menuju Sualang. Setelah melihat lawannya telah binasa, Bujang Jibun mengambil kepala Sutan Pamenan meletakkannya di tepi jalan, sementara badannya dilemparkan ke dalam lurah. Ayam dan harta yang dimiliki Sutan Pamenan diambil dan dibawa Bujang Jibun semuanya. Bujang Jibun kemudian berjalan menuju Bukit Batu Balai. Sampai di gelanggang Bukit Batu Balai diperlihatkan pada orang ramai apa yang telah dibawanya sebagai bukti bahwa Sutan Pamenan  telah mati ditangannya. Kemudian Bujang Jibun melihatkan pada orang ramai yang telah tahu perihal itu, dilihatnya orang tua beriba hati, orang muda menangis berurai air mata terbayang akan tampan dan gagahnya Sutan Pamenan yang telah jadi permainan mata orang kampung, orang memandang sangat sayang padanya (15).
 Lalu berangkatlah Bujang Jibun menuju kampung Kayu Aro, dituruni jalan setapak yang sempit, teruslah dia menuju Sualang. Setelah itu ditempuhnya pematang panjang menuju Kayu Aro. Sekian lama berjalan akhirnya sampailah Bujang Jibun di kampung Koto Tinggi terus menuju rumah mande kandungnya.  Lalu Bujang Jibun dipanggil oleh ayah kandungnya, dihadapan ayahnya Bujang Jibun berkata, “Ayah. Ini adalah bukti bahwa saya telah menang menyabung Ayam dengan Sutan Pamenan anak orang Pariaman. Bukan karena menang emas dengan perak, menang karena telah menyampaikan ajal Sutan Pamenan. Badannya telah dibuang ke dalam lurah sedangkan kepalanya diletakkan di tepi jalan, inilah taruhan dari Sutan Pamenan. Bujang Jibun melihatkan pada ayahnya Ayam Sutan Pamenan berserta emas dan perak yang jadi taruhan. Mendengarkan kata anaknya, terkejutlah ayah Bujang Jibun saat itu, ayahnya sangat geram dan marah pada Bujang Jibun dengan apa yang telah dilakukannya (16).
Melihat ayah yang sedang marah pada Bujang Jibun, Puti Bungsu adik kandung Bujang Jibun berkata, “kakanda Bujang Jibun, karena kakanda telah menang menyabung. Alangkah baiknya dibayarkan pada utang yang ada pada orang kampung. Agar kakanda selamat dunia dan akhirat”. Demikianlah kata Puti Bungsu pada kakaknya Bujang Jibun. Mendengar perkataan Puti Bungsu, marahlah Bujang Jibun dan saat itu berkata, “ kalaulah utang yang akan dibayar, percuma saja aku jadi parewa”. Merentaklah Bujang Jibun melangkahkan kakinya saat itu karena begitu marahnya pada puti Bungsu. Berangkatlah Bujang Jibun dari rumah gadang menuju Gubalo Kabau. Dalam hatinya Bujang Jibun berniat akan menguburkan emas tujuh urai serta uang yang ada. Sesampai di Padang Gubalo Kabau Bujang Jibun melaksanakan niatnya tersebut, menguburkan barang-barang yang dimilikinya. Selesai menguburkan barang-barang itu, Bujang Jibun kembali menuju rumah gadang mandenya (17).
Setelah masuk ke kamar tempat penyimpanan pakaiannya, Bujang Jibun menganti pakaian yang digunakannya dengan pakaian yang lusuh dan sangat jelek, dengan berpakaian yang demikian Bujang Jibun pergi menuju Sungai Kumayang rumah Reno Kapeh. Ketika sampai di halaman rumah Reno Kapeh, memangillah Bujang Jibun saat itu. “O adik kandung si Reno Kapeh, apakah gerangan adik ada dirumah? Kemudian terdengarlah suara jawaban dari atas rumah, suara itu adalah suara dari Reno Kapeh yang menyahuti pangilan Bujang Jibun.

“Cimpedak tumbuh di halaman
  Dijuluk dengan empu kaki
  Usahlah tuan lama berdiri di halaman
  Itu cibuak cucilah kaki
  Naiklah tuan ke atas rumah”

Itulah kata Reno Kapeh yang mempersilahkan Bujang Jibun naik ke atas rumah. Maka naiklah Bujang Jibun ke rumah menuju ruang tamu, sesaat setelah Bujang Jibun duduk, air minum telah disuguhkan Reno Kapeh sambil berkata, “apa maksud dalam hati, apa yang teringat dalam dada hingga tuan seperti ini datang dengan berbaju lusuh segala buruk, tuan menguji Reno Kapeh? Belumlah ada yang berubah di dalam hati, entah kalau malah tuan sendiri. Lalu Reno Kapeh berkata lagi pada Bujang Jibun.

“Kiabak jauh ditengah
Dekatku pandang dari tepi
Jejak tampak tubuh teringat
Hilang tuan ke mana akan dicari”

Lalu menjawablah Bujang Jibun.

 “Manalah dik kandung Reno kapeh
Saya telah menang menyabung
Menyabung dengan Sutan Pamenan
Ini sebagai tanda Ayamnya saya bawa
Sutan Pamenan sudah saya bunuh
Sudahkah senang hati adinda”(18).

Mendengar kata yang demikian, terkejutlah Reno Kapeh, berdesir darah di dada. Amanat yang tidak dipegang oleh Sutan Pamenan, penyesalan muncul di dalam diri Reno Kapeh. Termenunglah dia saat itu memikirkan nasib Sutan Pamenan. Pada saat itu Bujang Jibun mohon diri kembali pulang ke rumahnya. Ketika sampai di rumah mande kandungnya, Bujang Jibun minta izin pada mandenya pergi kembali ke Bukit Batu Balai. Sementara itu sepeningggal Bujang Jibun, Puti Reno Kapeh meratap sejadi-jadinya pada saat itu. “Oh tuan kandung Sutan Pamenan tidak kusangka rigo-rigo pipit sinandung makan padi, tidak kusangka seperti ini, amanatku tuan pungkiri.

Kiabak di Hulu Lumpo
Penudung orang ke seberang
Cerai hidup tidaklah mengapa
Celakanya mati salah seorang.

Si bubur tidak bertulang
Entahlah pandan yang meluruti
Tuan terbujur di rimba gadang
Dengan apa badan menuruti”
Begitulah bunyi ratapan Reno Kapeh (19).

Setelah pertemuan dengan Reno Kapeh, perkerjaan Bujang Jibun hanyalah gila bermenung dan bermenung dikarenakan orang-orang yang menagih piutang padanya, utang yang ada dengan apa akan dibayar. Setiap kali orang yang datang menagih piutang, yang bisa dilakukan Bujang Jibun hanyalah memainkan saluang Sago Geni, dihembus salung di depan orang yang menagih utang sebelum utang akan dibayar Bujang Jibun. Mendengarkan bunyi saluang Bujang Jibun, orang yang akan menagih piutang padanya merasa iba dan sedih hati yang tidak tertahankan. Hingga utang Bujang Jibun yang ada tidak akan tertagih lagi, karena mendengar saluang Bujang Jibun serasa mau putus jantung dengan hati (20).
Seiring dengan berjalannya waktu, hari berganti hari, habis hari berganti minggu, habis minggu berbilang bulan. Pada suatu hari datanglah seseorang yang meminta piutang, bernama Gadih Raema datang dari Padang. Bujang Jibun ketika melihat Raema datang dari kejauhan, telah siap dengan saluangnya. Seperti halnya dengan peminta utang pada Bujang Jibun sebelumnya, mereka disuruh menungggu oleh Bujang Jibun beberapa saat dengan alasan sebelum utang akan dibayar lebih baik duduk minum terlebih dahulu dan mendengarkan bunyi saluangnya, demikianlah cara Bujang Jibun menghadapi orang-orang yang menagih utang padanya. Setelah salung selesai dimainkan, yang namanya utang tidak akan pernah teringat lagi. Begitulah nasib para penagih utang pada Bujang Jibun sebelumnya. Cara yang sama kembali digunakan Bujang Jibun pada Raema yang ingin menagih utang pada Bujang Jibun.  Pada saat itu Bujang Jibun telah memainkan saluangnya dan melatunkan dendang bagi yang mendengarkan larut dibuatnya. Tapi telah beragam bunyi salung namun Raema tidak dapat tunduk oleh alunan bunyi saluang Bujang Jibun (21).
Setelah merasa litak bermain salung, berkatalah Bujang Jibun pada Raema, wahai rang Kayo si Raema, namanya utang tetap akan saya bayar. Bersabarlah Raema menungggu barang sebentar, agar saya dapat membayar utang. Mendengarkan kata Bujang Jibun Raema sangat marah, marah yang tidak dapat ditahan-tahan lagi dan lalu berkata, “Kalaulah tidak terbawa apa yang dijemput, kalaulah tidak dapat apa yang diminta, saya pantang berbalik pulang, biarlah hanya nama yang berbalik pulang. Mendengar kata Raema yang demikian, Bujang Jibun menghentakkan kakinya, muncullah rasa geramnya, tersingunglah hati yang “balado” talajang ka rantiang miang naiak ampadu ka talinggonyo. Kemudian Bujang Jibun berteriak sekeras-kerasnya, setelah bunyi suara dari mulutnya menghilang. Dihantamkanlah kakinya di lereng Bukit Batu Balai. Kiamat datang bagi diri Bujang Jibun hingga miringlah Bukit Batu Balai kala itu (22).
Sementara Raema yang sedang menunggu tidak menyadari apa yang telah terjadi pada diri Bujang Jibun. Ditempat yang lain Bujang Jibun semakin kehilangan kendali dirinya, dia berlari menuruni jalan Bukit Batu Balai menuju daerah tepi air yaitu lubuk Timbulun. Ketika sampai di tepi air lubuk, Bujang Jibun bersumpah pada saat itu. “hei tempat-tempat keramat”, dengan suara yang lantang. “Berkat Allah dan Nabi, berkat tempat yang keramat beserta Niniak dengan Aulia. Kalau ada harta dari Bujang Jibun, kalau saya menerjuni lubuk ini, jadikanlah saya menjadi batu berikut segala harta yang saya miliki”. Setelah selesai mengucapkan sumpahnya, tanpa pikir panjang lagi Bujang Jibun menerjuni air lubuk tersebut hingga Bujang Jibun tertancap berdiri dalam lubuk dan menjadi batu kala itu (23).

Gambar 
Lubuk Timbulun Tempat Bujang Jibun Terjun dan Jadi Batu


Kembali pada Gadih Raema yang menunggu-menunggu kedatangan Bujang Jibun untuk membayar utangnya. Setelah begitu lama dirasakannya, Bujang Jibun yang ditunggu-tunggu belum juga datang menampakkan batang hidungnya. Karena telah habis kesabarannya, orang yang dinanti belum juga datang. Akhirnya Gadih Raema berjalan menuruni jalan setapak Bukit Batu Balai mengikuti jejak Bujang Jibun. Ketika Raema sampai di daerah tepi air lubuk, diperhatikannya baik-baik disekitar daerah itu. Kemudian dipalingkannya penglihatannya ke arah air lubuk yang mengalir menuruti riamnya. Tanpa diduga sebelumnya, di dalam air lubuk Raema melihat sosok badan Bujang Jibun yang pada saat itu telah berubah menjadi batu. Melihat peristiwa yang terjadi itu, datanglah penyesalan dalam diri Raema (24).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar