Pada zaman dahulu, pada masa awal perkembangan
terbentuknya kehidupan bernagari di
daerah Surantih. Hiduplah sebuah keluarga di tengah-tengah perkembangan
kehidupan masyarakat yang baru bermula. Keluarga itu adalah keluarga Tuanku
Garak Alam. Tuanku memiliki seorang istri yang bernama Mayang Taurai. Dalam
perjalanan kehidupan keluarga mereka dikarunia Tuhan tiga orang anak. Anak
mereka yang paling sulung bernama Bujang Juaro, Bujang Juaro memiliki seorang
adik laki-laki bernama Bujang Jibun dan adik perempuan yang paling kecil
bernama Puti Bungsu (1).
Bujang
Juaro anak paling tua di keluarga Tuanku Garak Alam adalah seorang anak muda
yang dalam kehidupan sehari-harinya gemar minum tuak, bermain dadu, dan
menyabung Ayam. Bujang Juaro sendiri memiliki sebuah gelanggang permainan
sabung Ayam yang merupakan tempat dia mengadu Ayamnya setiap hari. Gelanggang
sabung Ayam milik Bujang Juaro ini berada di daerah Bukik Laban yang terletak
antara daerah Kayu Aro dengan Koto Tinggi, Koto Katenggian (2).
Daerah Koto Tinggi terdiri dari tiga perkampungan, yaitu;
Koto Katenggian, Sungai Kumayang, dan Koto Rana[h]. Koto Tinggi tampek
paninjauan, daerah ini merupakan sebuah daerah yang berada di dataran
tinggi yang landai sehingga dari tempat ini dapat melihat Sungai Kumayang dan
Koto Rana[h]. Sungai Kumayang dianggap
sebagai biliak dalam, anggapan ini muncul karena daerah Sungai Kumayang
berada di sebuah lembah yang tersembunyi dengan dikelilingi perbukitan sehingga
menyerupai sebuah biliak (ruangan) yang tersembunyi. Sedangkan Koto
Rana[h] dianggap sebagai janjang ka naiak, hal ini dikarenakan Koto
Rana[h] adalah daerah yang harus dilewati ketika harus mendaki menuju daerah
Koto Katenggian (3).
Beralih kepada adik Bujang Juaro, anak kedua dari Tuanku
Garak Alam yang bernama Bujang Jibun. Berbicara tentang diri Bujang Jibun, tak
jauh berbeda dengan kakak kandungnya Bujang Juaro. Dalam kehidupan keseharian
Bujang Jibun, perkerjaannya hanyalah minum tuak, suka main dadu dan menyabung Ayam.
Persis sama dengan kelakuan kakaknya, Bujang Jibun juga memiliki gelanggang
sendiri tempat dia bermain sabung Ayam. Setiap harinya Bujang Jibun berjalan
menuju gelanggang sabung Ayamnya, dari rumahnya yang berada di Koto Tinggi,
berjalanlah ia turun menuju ke Kayu Aro, kemudian berjalan menyusuri jalan yang
berada disepanjang kaki bukit menuju daerah Sualang (sekarang Sialang). Didekat
daerah Sualang ini terdapat sebuah bukit yang bernama Bukit Batu Balai. Di
bukit inilah Bujang Jibun mendirikan gelanggang sabung Ayamnya (4).
Pada suatu ketika tersiarlah kabar berita di Kampung Kayu
Aro bahwa ada seorang pemuda yang bernama Sutan Pamenan datang dari daerah
Pariaman. Maksud dan tujuan kedatangannya adalah untuk pergi ke gelanggang
sabung Ayam milik Bujang Juaro guna bermain sabung Ayam, mengadu Ayam jagoannya
yang bernama Ayam Sago Nani. Setelah bertanya-tanya pada penduduk yang
ditemuinya, akhirnya Sutan Pamenan sampai di gelanggang sabung Ayam Bujang
Juaro. Saat dia sampai, ia melihat suasana gelanggang yang sedang disesaki oleh
orang-orang yang menyaksikan sabung Ayam. Sebagian dari orang-orang tersebut,
meski tidak memiliki Ayam aduan untuk diadu, ada yang ikut menumpin
taruhannya pada Ayam yang bertarung. Ditengah hiruk pikuk suara orang ramai
yang berteriak menyemangati Ayam jagoannya. Bujang Juaro melihat ke arah
seorang pemuda yang belum pernah ia lihat sebelumnya datang bermain di
gelanggangnya (5).
Bujang Juaro kemudian menghampiri pemuda tersebut dan
berkata, “siapa tuan yang baru datang ini, angin mana dan hujan mana yang
membawa tuan hingga sampai di gelanggang ini. Dilihat dari tampang dan cara
berpakaian tuan, tuan bukanlah orang yang berasal dari daerah sini”. Lalu Sutan Pamenan
menimpali perkataan Bujang Juaro, “saya bernama Sutan Pamenan, datang dari
Pariaman, maksud kedatangan saya ke gelanggang ini tak lain adalah untuk
mengadu Ayam saya ini dengan Ayam jagoan tuan yang sering menang di gelanggang
ini. Kalaulah demikian, Sutan tidaklah
salah alamat datang kemari”, kata Bujang juaro. “Sutan datang ke tempat yang
benar, jika Sutan berkenan, dari pada kita terus berbasa-basi tak tentu arah.
Karena hari semakin lama semakin beranjak petang, lebih baik kita langsung
turun ke gelanggang membulang taji Ayam kita masing-masing. Sutan
Pamenan dengan wajah gembira menerima ajakan Bujang Juaro untuk turun bermain
disasaran sabung Ayam. Setelah menetapkan dan menyepakati taruhan yang akan ditumpin dalam pertandingan tersebut.
Mereka menyuruh juaro gelanggang yang menjadi pengadil dalam
pertandingan sabung Ayam tersebut untuk memulai permainan. Orang-orang yang
berada di gelanggang sabung Ayam Bujang Juaro larut bersorak riang menyemangati
kibasan-kibasan taji Ayam aduan yang sedang bertarung. Dalam pertandingan itu,
akhirnya Ayam milik Bujang Juaro kalah dari Ayam Sago Nani milik Sutan Pamenan,
taruhan yang telah ditumpin diambil dan dibawa oleh Sutan Pamenan (6).
Selesai menyabung Ayam dengan Bujang Juaro, Sutan Pamenan
berjalan menuju daerah Sungai Kumayang dan tinggal beberapa hari di kampung
tersebut. Pada saat Sutan Pamenan tinggal di daerah itu, dia bertemu dan
berkenalan dengan Puti Reno Kapeh. Puti Reno Kapeh merupakan anak dari Rajo Nan
Sati, ibunya bernama Mayang Sani. Pada masa mereka berkenalan tersebut Reno Kapeh
sudah menjadi tunangan dari Bujang Jibun. Pada suatu hari Sutan Pamenan datang
menemui Reno Kapeh ke rumahnya. Dalam pertemuan itu Puti Reno Kapeh berpesan
pada Sutan Pamenan, “kalau seandainya tuan sampai ke gelanggang sabung Ayam
Bujang Jibun yang berada di Bukit Batu Balai, janganlah tuan pergi juga ke sana
untuk menyabung Ayam”. Dicampuri rasa penasaran Sutan Pamenan memotong
perkataan Puti Reno Kapeh dan berkata, “kenapa Puti melarang saya datang ke
gelanggang Bujang Jibun untuk menyabung Ayam, apakah gerangan yang membuat Puti
khawatir dan melarang saya kesana untuk bermain” (7).
Lalu dengan
perasaan cemas Puti Reno Kapeh mengutarakan alasan ke khawatirannya dan
melarang Sutan Pamenan ke gelanggang Bujang Jibun, “bagi Bujang Jibun dalam
menyabung Ayam, jika kalah dalam penyabungan dia tidak akan membayar taruhan
yang telah ditumpin tapi jika dia
berada dipihak yang menang, dia akan mengambil seluruh taruhan yang ada. Dari
pada tuan pergi menyabung Ayam dengan Bujang Jibun, alangkah baiknya tuan mengurungkan
niat tuan tersebut. Lebih baik tuan kembali pulang ke kampung asal tuan”.
Mendengar perkataan Reno Kapeh, “Dik kandung Puti Reno Kapeh, adapun niat dalam
hati, kalaulah tidak bertemu dengan yang dicari pantang untuk kembali pulang,
jika kembali pulang ibaratnya “dadak mananti ditampuruang” jawab Sutan
Pamenan. Dengan nada perkataan berat hati Puti Reno Kapeh berkata,
“Saya patah tak akan terpatah
Ibarat mematah batang Surantih
Dipatah sedang panas hari
Saya cegah tidak akan tercegah
Ibarat mencegah air dari hilir
Saya lepas tuan dengan iba hati”.
Lalu Sutan Pamenan Menjawab,
“Pulau talam pulau terika,
ketiga bungkuak taji,
sambut salam puti ku tinggal,
saya berangkat sekarang ini”.
Dengan linangan
air mata Puti Reno Kapeh berkata,
“Ke kanan jalan ke Sungai Pinang,
ke kiri jalan ke Malaka.
Dengan tangan kanan saya sambut
kasih sayang
dengan tangan kiri menghapus air
mata.
Setelah mereka berjabat tangan, turunlah Sutan Pamenan
dari rumah gadang Puti Reno Kapeh. Ketika sudah berada di halaman Sutan
Pamenan melihat ke arah Reno Kapeh yang berdiri di pintu rumah gadang
melepas kepergian Sutan Pamenan (8).
Beberapa saat
kemudian Sutan Pamenan berpaling dan melangkahkan kakinya dari halaman rumah
berjalan menuju ke arah hilir. Sekian lama jauh berjalan sampailah Sutan
Pamenan di Koto Rana[h] dan singgah berhenti untuk beristirahat. Di bawah pohon
kayu yang rindang, di Puncak Bukit Aua, sembari melapaskan litaknya,
pikiran Sutan Pamenan menerawang jauh. Dilepaskannya pandangan ke arah lautan,
terlihatlah daerah Bukit Batu Balai tempat gelanggang Bujang Jibun. Seketika
teringatlah kembali olehnya perkataan Reno Kapeh. Tiba-tiba dia terkejut,
dadanya berdetak kencang, seluruh sendi tubuhnya dirasakan bergemetar. Dalam kondisi
yang demikian, hati kecilnya berkata, “niat dalam hati terbayang-bayang dimata
teringat-ingat dihati, biar ada aral melintang namun maksud dan tujuan haruslah
tetap disampaikan. Biarlah hilang yang akan berkata, meski hilang nyawa dari
badan namun kehendak hati harus dilaksanakan” (9).
Setelah litak yang mengerubuti tubuhnya dirasakan
telah hilang, sutan pamenan mengayunkan langkah kakinya menuruni Bukit Aua
hingga sampailah dia di Kayu Gadang. Lalu menyeberang sungai di lambung bukit,
berjalan di pematang panjang ke arah hilirnya, akhirnya sampailah Sutan Pamenan
di Sualang. Dari kejauhan telinganya
mendengar sayub-sayub orang bersorak-sorai dari arah Bukit Batu Balai.
Semakin lama suara itu semakin jelas terdengar, diarahkanlah langkah kakinya
menuju ke gelanggang sabung Ayam Bujang
Jibun yang sedang ramai saat itu. Berjalanlah dia berlambat-lambat mendaki
Bukit Batu Balai sambil mengapit Ayamnya untuk memenuhi niat hatinya menyabung Ayam
dengan Bujang Jibun. Setelah menempuh jalan setapak Bukit Batu Balai, sampailah
Sutan Pamenan di tempat gelanggang sabung Ayam Bujang jibun. Di tengah ramainya
gelanggang terlihatlah dirinya oleh Bujang Jibun. Seketika dirinya merasa,
darahnya berdesir, detak jantungnya berdegub kencang dan gemetar segala sendi
tubuhnya. Teringat kembali olehnya perkataan Reno Kapeh, di dalam hati Sutan
Pamenan berkata, “benar adanya kata Reno Kapeh, tidak salah Puti berkata
demikian, sesuai perkataan dengan kenyataan”. Firasat hati Sutan Pamenan saat
itu merasa akan berpisah nyawa dengan badan. Setelah ini ia merasa tidak akan
pernah bertemu lagi dengan Puti Reno Kapeh, muncullah penyesalan di dalam
dirinya karena amanat Reno Kapeh telah ia mungkiri (10).
Gambar
Lokasi
Gelanggang Sabung Ayam Bujang Jibun di Puncak Bukit Batu Balai
Dikala jiwanya sedang bergolak, berkatalah Bujang Jibun
sambil memanggil ke arah Sutan Pamenan. “siapa tuan yang baru datang, dipanggil
gelar tidak tahu dipanggil nama tidak jelas. Siapakah nama tuan sesungguhnya”,
Tanya Bujang jibun. “saya bernama Sutan Pamenan datang dari Pariaman, sudahkah
senang hati tuan” jawab Sutan Pamenan. Lalu Bujang Jibun berkata, “dikala makan
rendang lekat di daun dijilati, dikala tuan datang apa maksud dalam hati”. Sutan Pamenan kemudian menjawab pertanyaan
Bujang Jibun, “kalaulah itu yang tuan tanyakan, karena tuan yang punya
gelanggang, ada rasa niat dalam hati hendak menyabung saya di gelanggang ini.
Tanda saya akan menyabung dengan tuan, inilah taruhan yang akan saya tumpin
untuk menyabung Ayam dengan tuan”. Lalu Sutan Pamenan meletakkan taruhannya
berupa emas tiga batang dihadapan Bujang Jibun. Bujang Jibun melihat Sutan
Pamenan meletakkan taruhan terkesima dengan apa yang ingin dipertaruhkannya
(11).
Saat itu termenunglah Bujang Jibun dan berfikir sambil
melihat ke arah taruhan orang yang datang, dengan apa taruhan itu akan ditumpin kata Bujang Jibun dalam hati
kecilnya. Tak lama kemudian berkatalah Bujang Jibun, “kalau begitu bersabarlah
tuan menunggu, saya permisi mengambil taruh yang akan ditumpin”, lalu berjalanlah Bujang Jibun. Tidak berapa lama
kemudian Bujang Jibun datang kembali ke gelanggang dengan membawa taruhannya.
Dihadapan Sutan Pamenan, Bujang Jibun berkata, “kalaulah tak sampai taruh saya
untuk menumpin taruhan sutan, dengan janji kita buat kesepakatan. Kalau
seandainya dalam pertandingan nanti yang menang adalah Ayam saya, taruhan yang
ada saya yang akan mengambil. Kalau sebaliknya ternyata saya kalah, kalau tak
cukup taruhan saya ini, tambahannya ialah tunangan saya yang bernama Puti Reno Kapeh, apakah senang hati sutan
mendengarnya”. Mendengar perkataan Bujang Jibun lalu Sutan Pamenan berucap,
“kalau demikian kata tuan, sudah senang rasanya dalam hati sejuk rasanya dalam
pikiran. Apakah nanti tidak ada penyesalan dalam diri tuan dikemudiannya ?”. Dengan melihatkan mimik wajah percaya diri
Bujang Jibun menyakinkan Sutan Pamenan dan mengajaknya untuk memulai
pertandingan. Dalam pertandingan itu, Sutan Pamenan telah mempersiapkan Ayamnya
yang bernama Sago Nani. Sementara itu Bujang Jibun juga bersiap-siap untuk
mengadu Ayamnya yang bernama Kinantan (12).
Setelah juaro lapangan mempersiapkan segala
sesuatunya. Maka kedua orang itu melepas Ayam aduannya masing-masing. Dalam
pertarungan itu kedua Ayam saling mengincar lawannya masing-masing, adakalanya
kedua Ayam itu sesekali melambung ke atas, dua kali melambung turun. Tapi
malang bagi Ayam Kinantan milik Bujang Jibun berpisah nyawa dari badannya,
mengelapar-lepar di gelanggang, matilah Ayam Kinantan suci. Seketika
mengalirlah keringat dingin sebesar biji jagung di kening Bujang Jibun.
Sementara itu orang ramai hiruk pikuk, bersorak sorai melihat kemenangan Ayam
Sago Nani milik Sutan Pamenan, apalagi mereka yang ikut menumpin taruhan pada Ayam
Sago Nani yang menang dalam pertandingan itu. Pada diri Bujang Jibun, malu
tercoreng pada kening, karena kalah oleh Ayam Sutan Pamenan dan taruhan diambil
Sutan Pamenan sambil berkata pada Bujang Jibun. “Hei…. tuan, si Bujang Jibun, manakah dia Puti Reno
Kapeh? Bawalah dia sekarang juga sebagai ganti taruhan badan tuan. Lalu
termenunglah Bujang Jibun, kemudian berkata, “tentang Puti Reno Kapeh, dia
sekarang berada di Sungai Kumayang Biliak Dalam. Jemputlah dia oleh sutan ke
sana, ke kampung halamannya. Sudahkah senang hati sutan”, Bujang Jibun berkata
(13).
Gambar
Salah
Satu Peninggalan Bujang Jibun Berupa Sumur Kecil
Masyarakat
Menyakini Air Sumur Ini Digunakan Untuk Minum dan Memandikan Ayam
Setelah mendengar kata Bujang Jibun, Sutan Pamenan mohon
diri pergi dari gelanggang tersebut lalu berjalan menuruni Bukit Batu Balai
melalui jalan setapak yang sempit menuju Sualang. Dalam perjalanan menuju
sualang tersebut, tanpa diduga dan disangka-sangka sebelumnya oleh Sutan
Pamenan perjalanannya dicegat oleh Bujang Jibun. Melihat Bujang Jibun yang
berdiri bercakap pinggang di tengah jalan, hati kecil Sutan Pamenan berkata
pada dirinya bahwa dirinya akan binasa. Dalam hatinya terlintas kata-kata,
“Kuda melompati batu balah di belakang lurah berpandakian, tidak ku dua
kehendak Allah kalaulah memang suratan dengan janjian”. Ketika Sutan Pamenan
sampai dihadapan Bujang Jibun, berkatalah Bujang Jibun pada Sutan Pamenan.
“kalau tadi Ayam kita yang menyabung, saya telah kalah, sekarang kita pula yang
menyabung nyawa”. Kemudian terjadilah perkelahian antara Bujang Jibun dengan Sutan
Pamenan. Pada diri Bujang Jibun, sebagai seorang parewa memiliki
berbagai kesaktian, tahan gurindam
garagaji, tidak termakan malelo, tidak termakan bisa kawi dia orang kuat
kaba semenjak dari niniaknya. Sementara itu pada diri Sutan Pamenan,
melihat Ayamnya kuyua, saat itu
berdesirlah darah didadanya, lupalah Sutan Pamenan akan akal pikirannya, hilang
ilmu yang ada pada dirinya tidak sadar akan dirinya (14).
Maka bertarunglah Bujang Jibun dengan Sutan Pamenan, pada
awalnya perkelahian itu berjalan seimbang. Lama kelamaan terdesaklah Bujang
Jibun oleh Sutan Pamenan hingga pada suatu ketika Bujang Jibun terjatuh akbat
pukulan Sutan Pamenan. Pada saat itu manyarulah Bujang Jibun, “berkat
pada tampat-tampat yang keramat,
berkat Langgai, berkat Malelo dan berkat tempat keramat lainnya. Meminta Bujang
Jibun kali ini, kalau sempat kalah Bujang Jibun sekarang bak balam rabah , bak
orang datang Nagari Surantih”. Seketika itu, Bujang Jibun seakan
mendapat kekuatan baru dan berdiri kembali melanjutkan pertarungannya dengan
Sutan Pamenan. Dalam perkelahian itu, pedang Bujang Jibun telah berhasil
melukai tubuh Sutan Pamenan. Pada satu kesempatan Bujang Jibun berhasil
menyabetkan pedangnya ke arah leher Sutan Pamenan hingga bercerailah kepala
dengan badan Sutan Pamenan. Ajalullah sudah bilangan sampai,
meninggallah Sutan Pamenan di jalan yang menuju Sualang. Setelah melihat
lawannya telah binasa, Bujang Jibun mengambil kepala Sutan Pamenan
meletakkannya di tepi jalan, sementara badannya dilemparkan ke dalam lurah. Ayam
dan harta yang dimiliki Sutan Pamenan diambil dan dibawa Bujang Jibun semuanya.
Bujang Jibun kemudian berjalan menuju Bukit Batu Balai. Sampai di gelanggang
Bukit Batu Balai diperlihatkan pada orang ramai apa yang telah dibawanya
sebagai bukti bahwa Sutan Pamenan telah
mati ditangannya. Kemudian Bujang Jibun melihatkan pada orang ramai yang telah
tahu perihal itu, dilihatnya orang tua beriba hati, orang muda menangis berurai
air mata terbayang akan tampan dan gagahnya Sutan Pamenan yang telah jadi
permainan mata orang kampung, orang memandang sangat sayang padanya (15).
Lalu berangkatlah
Bujang Jibun menuju kampung Kayu Aro, dituruni jalan setapak yang sempit,
teruslah dia menuju Sualang. Setelah itu ditempuhnya pematang panjang menuju
Kayu Aro. Sekian lama berjalan akhirnya sampailah Bujang Jibun di kampung Koto
Tinggi terus menuju rumah mande kandungnya. Lalu Bujang Jibun dipanggil oleh ayah
kandungnya, dihadapan ayahnya Bujang Jibun berkata, “Ayah. Ini adalah bukti
bahwa saya telah menang menyabung Ayam dengan Sutan Pamenan anak orang
Pariaman. Bukan karena menang emas dengan perak, menang karena telah
menyampaikan ajal Sutan Pamenan. Badannya telah dibuang ke dalam lurah
sedangkan kepalanya diletakkan di tepi jalan, inilah taruhan dari Sutan
Pamenan. Bujang Jibun melihatkan pada ayahnya Ayam Sutan Pamenan berserta emas
dan perak yang jadi taruhan. Mendengarkan kata anaknya, terkejutlah ayah Bujang
Jibun saat itu, ayahnya sangat geram dan marah pada Bujang Jibun dengan apa
yang telah dilakukannya (16).
Melihat ayah yang sedang marah pada Bujang Jibun, Puti
Bungsu adik kandung Bujang Jibun berkata, “kakanda Bujang Jibun, karena kakanda
telah menang menyabung. Alangkah baiknya dibayarkan pada utang yang ada pada
orang kampung. Agar kakanda selamat dunia dan akhirat”. Demikianlah kata Puti
Bungsu pada kakaknya Bujang Jibun. Mendengar perkataan Puti Bungsu, marahlah
Bujang Jibun dan saat itu berkata, “ kalaulah utang yang akan dibayar, percuma
saja aku jadi parewa”. Merentaklah Bujang Jibun melangkahkan kakinya saat
itu karena begitu marahnya pada puti Bungsu. Berangkatlah Bujang Jibun dari rumah
gadang menuju Gubalo Kabau. Dalam hatinya Bujang Jibun berniat akan
menguburkan emas tujuh urai serta uang yang ada. Sesampai di Padang Gubalo
Kabau Bujang Jibun melaksanakan niatnya tersebut, menguburkan barang-barang
yang dimilikinya. Selesai menguburkan barang-barang itu, Bujang Jibun kembali
menuju rumah gadang mandenya (17).
Setelah masuk ke kamar tempat penyimpanan pakaiannya,
Bujang Jibun menganti pakaian yang digunakannya dengan pakaian yang lusuh dan
sangat jelek, dengan berpakaian yang demikian Bujang Jibun pergi menuju Sungai
Kumayang rumah Reno Kapeh. Ketika sampai di halaman rumah Reno Kapeh,
memangillah Bujang Jibun saat itu. “O adik kandung si Reno Kapeh, apakah
gerangan adik ada dirumah? Kemudian terdengarlah suara jawaban dari atas rumah,
suara itu adalah suara dari Reno Kapeh yang menyahuti pangilan Bujang Jibun.
“Cimpedak tumbuh di halaman
Dijuluk dengan empu kaki
Usahlah tuan lama berdiri di halaman
Itu cibuak cucilah kaki
Naiklah tuan ke atas rumah”
Itulah kata Reno Kapeh yang mempersilahkan Bujang Jibun
naik ke atas rumah. Maka naiklah Bujang Jibun ke rumah menuju ruang tamu,
sesaat setelah Bujang Jibun duduk, air minum telah disuguhkan Reno Kapeh sambil
berkata, “apa maksud dalam hati, apa yang teringat dalam dada hingga tuan
seperti ini datang dengan berbaju lusuh segala buruk, tuan menguji Reno Kapeh?
Belumlah ada yang berubah di dalam hati, entah kalau malah tuan sendiri. Lalu
Reno Kapeh berkata lagi pada Bujang Jibun.
“Kiabak jauh ditengah
Dekatku pandang dari tepi
Jejak tampak tubuh teringat
Hilang tuan ke mana akan dicari”
Lalu menjawablah Bujang Jibun.
“Manalah dik kandung Reno kapeh
Saya telah menang menyabung
Menyabung dengan Sutan Pamenan
Ini sebagai tanda Ayamnya saya bawa
Sutan Pamenan sudah saya bunuh
Sudahkah senang hati adinda”(18).
Mendengar kata yang demikian, terkejutlah Reno Kapeh,
berdesir darah di dada. Amanat yang tidak dipegang oleh Sutan Pamenan,
penyesalan muncul di dalam diri Reno Kapeh. Termenunglah dia saat itu
memikirkan nasib Sutan Pamenan. Pada saat itu Bujang Jibun mohon diri kembali
pulang ke rumahnya. Ketika sampai di rumah mande kandungnya, Bujang
Jibun minta izin pada mandenya pergi kembali ke Bukit Batu Balai.
Sementara itu sepeningggal Bujang Jibun, Puti Reno Kapeh meratap sejadi-jadinya
pada saat itu. “Oh tuan kandung Sutan Pamenan tidak kusangka rigo-rigo pipit
sinandung makan padi, tidak kusangka seperti ini, amanatku tuan pungkiri.
Kiabak di Hulu Lumpo
Penudung orang ke seberang
Cerai
hidup tidaklah mengapa
Celakanya mati salah seorang.
Si bubur tidak bertulang
Entahlah pandan yang meluruti
Tuan terbujur di rimba gadang
Dengan apa badan menuruti”
Begitulah bunyi ratapan Reno Kapeh (19).
Setelah pertemuan dengan Reno Kapeh, perkerjaan Bujang
Jibun hanyalah gila bermenung dan bermenung dikarenakan orang-orang yang
menagih piutang padanya, utang yang ada dengan apa akan dibayar. Setiap kali
orang yang datang menagih piutang, yang bisa dilakukan Bujang Jibun hanyalah
memainkan saluang Sago Geni,
dihembus salung di depan orang yang menagih utang sebelum utang akan dibayar
Bujang Jibun. Mendengarkan bunyi saluang Bujang Jibun, orang yang akan
menagih piutang padanya merasa iba dan sedih hati yang tidak tertahankan.
Hingga utang Bujang Jibun yang ada tidak akan tertagih lagi, karena mendengar
saluang Bujang Jibun serasa mau putus jantung dengan hati (20).
Seiring dengan berjalannya waktu, hari berganti hari,
habis hari berganti minggu, habis minggu berbilang bulan. Pada suatu hari
datanglah seseorang yang meminta piutang, bernama Gadih Raema datang dari
Padang. Bujang Jibun ketika melihat Raema datang dari kejauhan, telah siap
dengan saluangnya. Seperti halnya dengan peminta utang pada Bujang Jibun
sebelumnya, mereka disuruh menungggu oleh Bujang Jibun beberapa saat dengan
alasan sebelum utang akan dibayar lebih baik duduk minum terlebih dahulu dan
mendengarkan bunyi saluangnya, demikianlah cara Bujang Jibun menghadapi
orang-orang yang menagih utang padanya. Setelah salung selesai dimainkan, yang
namanya utang tidak akan pernah teringat lagi. Begitulah nasib para penagih
utang pada Bujang Jibun sebelumnya. Cara yang sama kembali digunakan Bujang
Jibun pada Raema yang ingin menagih utang pada Bujang Jibun. Pada saat itu Bujang Jibun telah memainkan saluangnya
dan melatunkan dendang bagi yang mendengarkan larut dibuatnya. Tapi telah
beragam bunyi salung namun Raema tidak dapat tunduk oleh alunan bunyi saluang
Bujang Jibun (21).
Setelah merasa litak
bermain salung, berkatalah Bujang Jibun pada Raema, wahai rang Kayo si Raema,
namanya utang tetap akan saya bayar. Bersabarlah Raema menungggu barang
sebentar, agar saya dapat membayar utang. Mendengarkan kata Bujang Jibun Raema
sangat marah, marah yang tidak dapat ditahan-tahan lagi dan lalu berkata,
“Kalaulah tidak terbawa apa yang dijemput, kalaulah tidak dapat apa yang
diminta, saya pantang berbalik pulang, biarlah hanya nama yang berbalik pulang.
Mendengar kata Raema yang demikian, Bujang Jibun menghentakkan kakinya,
muncullah rasa geramnya, tersingunglah hati yang “balado” talajang ka
rantiang miang naiak ampadu ka talinggonyo. Kemudian Bujang Jibun berteriak
sekeras-kerasnya, setelah bunyi suara dari mulutnya menghilang. Dihantamkanlah
kakinya di lereng Bukit Batu Balai. Kiamat datang bagi diri Bujang Jibun hingga
miringlah Bukit Batu Balai kala itu (22).
Sementara Raema yang sedang menunggu tidak menyadari apa
yang telah terjadi pada diri Bujang Jibun. Ditempat yang lain Bujang Jibun
semakin kehilangan kendali dirinya, dia berlari menuruni jalan Bukit Batu Balai
menuju daerah tepi air yaitu lubuk Timbulun. Ketika sampai di tepi air lubuk,
Bujang Jibun bersumpah pada saat itu. “hei tempat-tempat keramat”, dengan suara
yang lantang. “Berkat Allah dan Nabi, berkat tempat yang keramat beserta Niniak
dengan Aulia. Kalau ada harta dari Bujang Jibun, kalau saya menerjuni lubuk
ini, jadikanlah saya menjadi batu berikut segala harta yang saya miliki”.
Setelah selesai mengucapkan sumpahnya, tanpa pikir panjang lagi Bujang Jibun
menerjuni air lubuk tersebut hingga Bujang Jibun tertancap berdiri dalam lubuk
dan menjadi batu kala itu (23).
Gambar
Lubuk
Timbulun Tempat Bujang Jibun Terjun dan Jadi Batu
Kembali pada Gadih Raema yang menunggu-menunggu
kedatangan Bujang Jibun untuk membayar utangnya. Setelah begitu lama
dirasakannya, Bujang Jibun yang ditunggu-tunggu belum juga datang menampakkan
batang hidungnya. Karena telah habis kesabarannya, orang yang dinanti belum
juga datang. Akhirnya Gadih Raema berjalan menuruni jalan setapak Bukit Batu
Balai mengikuti jejak Bujang Jibun. Ketika Raema sampai di daerah tepi air
lubuk, diperhatikannya baik-baik disekitar daerah itu. Kemudian dipalingkannya
penglihatannya ke arah air lubuk yang mengalir menuruti riamnya. Tanpa diduga sebelumnya,
di dalam air lubuk Raema melihat sosok badan Bujang Jibun yang pada saat itu
telah berubah menjadi batu. Melihat peristiwa yang terjadi itu, datanglah
penyesalan dalam diri Raema (24).